REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Dua wanita Muslim ditikam kelompok anti-Islam di Ibu Kota Prancis, Paris pada Ahad lalu. Dalam serangan yang terjadi di dekat Menara Eiffel, sebuah kelompok berulang kali menikam kedua wanita itu dengan pisau sambil meneriakkan 'orang Arab kotor', informasi ini disampaikan polisi Prancis.
Dalam artikel yang ditulis Hilal Kaplan dan dipublikasikan Daily Sabah pada Jumat (23/10), dijelaskan bahwa komunitas Muslim telah menjadi sasaran, seperti setelah tragedi 9/11.
Komunitas Muslim di Prancis menjadi sasaran lagi setelah pembunuhan seorang guru sejarah di Prancis yang diduga menunjukkan kartun-kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW di kelasnya kepada murid-muridnya.
Praktik yang tidak akan pernah terlintas dalam pikiran jika pembunuhnya adalah seorang ekstremis Kristen. Peristiwa pembunuhan guru itu langsung diterapkan pada Muslim yang kejahatannya hanya mempraktikkan agama mereka.
Hanya bulan lalu atas nama yang diduga 'memerangi Islamisme radikal,' 12 masjid, sekolah swasta, asosiasi dan bisnis ditutup di Prancis, kata Menteri Dalam Negeri Prancis Gerald Darmanin. Sehingga totalnya menjadi 73 sejak awal tahun.
Defining the Collective Against Islamophobia in France (CCIF) sebagai 'musuh negara', Darmanin mengumumkan bahwa organisasi non-pemerintah (LSM) serupa akan ditutup sesuai dengan keputusan kabinet. CCIF dikenal karena perjuangannya melawan sikap diskriminatif pemerintah Prancis terhadap Muslim.
Dalam menilai perkembangan, penting untuk dicatat bahwa Presiden Emmanuel Macron membenarkan kebijakan yang represif, bersumpah untuk melawan 'separatisme Islam'.
Ungkapan tersebut melabeli Muslim Prancis sebagai warga negara kelas dua, mencakup orang-orang yang taat yang berhati-hati dalam mengonsumsi makanan 'halal' dan wanita Muslim yang mengenakan jilbab, menjadikan mereka 'permainan yang adil' bagi negara.
Sikap Prancis yang membatasi Muslim, yang dimulai dengan pelarangan burkini dan cadar dan dilanjutkan dengan undang-undang tentang sekularitas dan simbol-simbol agama yang mencolok di sekolah yang disetujui parlemen pada 2016, berdampak pada kehidupan sekitar 6 juta warga Muslim.
Yahudi adalah target rasisme sayap kanan di Eropa 100 tahun yang lalu, dan sekarang, Muslim menghadapi rasisme di Eropa. Fakta bahwa Macron, yang partainya mengalami kekalahan telak dalam pemilihan lokal pada bulan Juni, telah menargetkan Muslim adalah bukti bahwa masalah tersebut tidak lagi terbatas pada sayap kanan.
Jadi, lonceng peringatan harus berbunyi mengingat Muslim adalah target terbaru dalam sejarah panjang praktik rasis Eropa, beberapa di antaranya masih berlangsung kurang dari seabad yang lalu.
Sumber: https://www.dailysabah.com/opinion/columns/liberty-equality-fraternity-except-muslims