REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para pemangku jabatan sudah semestinya menunaikan tugas dan kewajibannya dengan dasar iman dan integritas. Namun, tidak sedikit oknum yang menggunakan kekuasaannya itu atas dasar kefasikan dengan ragam kriminalitasnya. Salah satunya ialah kejahatan korupsi.
Secara tegas, Allah SWT menyatakan larangan memakan harta dengan cara batil (lihat Alquran surah al-Baqarah ayat ke-188).
Demikian pula, Rasulullah SAW telah memperingatkan kepada umatnya tentang bahaya dan maraknya dosa korupsi. Ini disampaikan beliau sejak 15 abad yang lalu.
Dalam sebuah riwayat yang dinilai valid, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sungguh, akan datang kepada manusia suatu zaman, yang saat itu seseorang tidak peduli lagi dari mana dia mendapatkan harta, apakah dari jalan halal atau jalan haram" (HR Bukhari).
Patut disadari, harta yang diperoleh dengan cara yang halal saja akan menyebabkan siksa keras jika pemiliknya tidak menginfakkannya di jalan Allah.
Harta yang diperolehnya itu akan menjadi bahaya bila semata-mata dikumpulkan dan disimpan untuk bermegah-megahan saja. Menuruti nafsu mencapai kesenangan duniawi. Sementara, kewajiban menunaikan infak, zakat, sedekah, dan wakaf sama sekali ditinggalkan.
Dalam Alquran, ancaman bagi orang seperti itu adalah neraka jahanam (lihat at-Taubah ayat ke-34 dan 35). Jadi, harta yang didapatkan dengan cara halal, tetapi tidak digunakan di jalan Allah, maka ancaman siksaannya begitu dahsyat dan pedih.
Apalagi, jika harta itu diperoleh dengan cara yang batil dan haram. Termasuk dalam hal ini: korupsi, merampok, riba, suap, dan lain-lain.
Dalam kitab Hudud, orang yang mencuri tameng seharga 3 dirham saja, hukumannya adalah potong tangan. Demikian pula bagi pencuri sebutir telur dan seutas tali. Selain dipotong tangannya, ia juga mendapat laknat dari Allah SWT.
Bagaimana dengan korupsi hingga jutaan, miliaran, dan triliunan rupiah? Tentu saja, hukuman berupa potong tangan itu lebih layak diterimanya.
Dari Jabir bin Abdillah RA, Rasulullah SAW bersabda: "Wahai Ka’ab bin 'Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari makanan haram" (HR Ibnu Hibban).
Berdasarkan keterangan nash tersebut, mengambil dan memakan harta dengan cara batil seperti korupsi adalah dosa besar. Pelakunya layak dilemparkan ke neraka jahanam dan tidak akan masuk surga.
Hal itu kecuali kalau si pelaku segera bertobat, beristighfar, meningkatkan iman dan beramal baik. Selain itu, ia pun mesti benar-benar menyesali perbuatannya dengan cara mengembalikan seluruh harta batil yang sudah dirampoknya ke negara atau rakyat, sebagai pemilik sah harta itu.