Selasa 13 Oct 2020 16:31 WIB

Zionisme Gunakan Bibel untuk Misi Mereka, Ini Bahayanya

Gerakan Zionisme mendasari ideologi mereka dengan Bibel

Gerakan Zionisme mendasari ideologi mereka dengan Bibel Zionisme (ilustrasi).
Foto: Panoramio.com
Gerakan Zionisme mendasari ideologi mereka dengan Bibel Zionisme (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Di antara pelopor tokoh Zionis Revisionis, adalah Vladimir Jabotinsky. Vladimir Jabotinsky (1880-1940) dikenal sebagai penulis dan orator yang brilian, yang dibesarkan di lingkungan Yahudi Rusia.

Dia termasuk pula pendiri Koran Haaretz yang didirikan di Yerusalem pada 1919, atau dua tahun setelah masuknya pasukan sekutu di bawah Lord Allenby di Jerusalem yang membawa ribuan sukarelawan Yahudi.

Baca Juga

Tulisannya berjudul "The Iron Wall" (Tembok Besi), yang diluncurkan pada 4 November 1923, bisa dikatakan sebagai esai dasar bagi seluruh gerakan Zionis.

Dia mengemukakan secara tegas premis-premis esensial Zionisme yang telah diletakkan sebelumnya oleh Herzl, Weizmann, atau tokoh Zionis lainnya, meskipun tidak secara jelas (Ralph Schoenman, 1998).

Gagasan Jabotinsky sangat realistis, dengan memandang Zionisme sebagai suatu imperialisme, sehingga mustahil terjadi kerjasama atau rekonsiliasi antara Yahudi dan Arab.

Karena itu, Arab harus dihadapi dengan kekuatan. Schoenman mencatat pemikiran dan sejarah Jabotinsky yang berusaha menggabungkan pemikiran Zionis dan kerusakan moral. 

Pembantaian terhadap orang-orang Yahudi sengaja dibiarkan untuk memberikan "legitimasi moral yang besar" kepada Zionisme untuk melakukan hal yang sama terhadap orang-orang Arab. "Pelajaran dari penghancuran Nazi terhadap Yahudi adalah bahwa sekarang dibolehkan bagi Zionis untuk menyengsarakan seluruh penduduk Palestina." 

Gagasan Jabotinsky kemudian diwarisi Likud, yang memiliki konvensi bahwa wilayah Palestina adalah hak bagi bangsa Yahudi. Bangsa non-Yahudi (gentile) tidak berhak tinggal di sana. Meskipun sebagai kekuatan politik sekular, Likud seringkali mengeksploitasi teks-teks Bibel untuk melegitimasi pendudukan Israel atas Palestina.  

Pada 1993, Ariel Sharon mengusulkan dalam Konvensi Partai Likud, agar Israel secara resmi menetapkan batas wilayahnya berdasarkan Bibel(Biblical borders). Padahal, kaum maximalist di kalangan Zionis menetapkan 'batas-batas Biblical' itu meliputi wilayah Palestina, Sinai, Yordania, Lebanon, dan sebagian Turki.

Karena sifat-sifat agresif dan diskriminatifnya, dalam bukunya Jewish History, Jewish Religion (1999:2) cendekiawan Yahudi, Dr Israel Shahak, mencatat bahwa negara Israel bukan hanya merupakan bahaya bagi Yahudi, tapi juga seluruh negara di Timur Tengah. (In my view, Israel as a Jewish state constitutes a danger not only to itself and its inhabitants, but to all Jew and to all other peoples and states in the Middle East and beyond). 

Karena mengeksploitasi ayat-ayat Bibel untuk tujuan politik Zionis, maka persoalan Palestina menjadi sangat rumit. Jika hukum internasional dipatuhi, berdasarkan resolusi DK PBB 242 dan 338, Israel harusnya sudah menyerahkan wilayah pendudukannya (Tepi Barat dan Jalur Gaza) ke Palestina.

Bahkan, Yerusalem yang kini dijadikan sebagai ibukota Israel, belum pernah disahkan PBB. Sebab, berdasarkan Resolusi MU PBB 181,  yang dikeluarkan 1947 dan diarsiteki  Amerika Serikat, kota ini tidak termasuk bagian Yahudi, tetapi termasuk corpus separatum.  

Sepanjang sejarah Israel, Amerika Serikat bukannya menekan agar Israel konsisten melaksanakan resolusi-resolusi PBB, tetapi malah membuat berbagai perjanjian baru dengan berbagai syarat yang biasanya mustahil dipenuhi pihak Palestina. 

Dalam soal terorisme, kebijakan Israel dan Amerika Serikat sudah banyak menuai kecaman internasional. Saat KTT Non-Blok di KL, Februari 2003 lalu, perdana menteri Malaysia kala itu, Mahathir mengingatkan pentingnya penyelesaian masalah Palestina dalam kerangka penyelesaian masalah terorisme global. Bahkan, Mahathir menyebut masalah ini sebagai kunci penyelesaian. 

Di dalam pidatonya di Sidang Pembukaan GNB, dan di Stadium Nasional Bukit Jalil, 23 Februari 2003, Mahathir menyebutkan pentingnya penyelesaian masalah Palestina. Dia katakan, "If we care to think back, there was no systematic campaign of terror outside Europe until the Europeans and the Jews created a Jewish state out of Palestine Land." Karena itu, Mahathir menegaskan, "Palestine is key to peace."

Kini, soal Palestina, yang harusnya menjadi kunci perdamaian dunia justru semakin rumit. Pada tataran opini publik, Israel terus-menerus memproduksi istilah-istilah untuk mendukung aksinya memburu dan membunuh para pejuang Palestina.

* Naskah kutipan artikel Dr Adian Husaini yang tayang di Harian Republika pada 2003.

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement