Senin 05 Oct 2020 04:43 WIB

Jejak Dakwah Sunan Kudus Dalam Naskah Uluan Palembang

Rekam jejak dan nasab Sunan Kudus

Wisatawan mengunjungi Masjid Menara Kudus peninggalan Sunan Kudus di Desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (3/4/2019).
Foto: Antara/Yusuf Nugroho
Wisatawan mengunjungi Masjid Menara Kudus peninggalan Sunan Kudus di Desa Kauman, Kudus, Jawa Tengah, Rabu (3/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, -- Oleh: Muhammad Daud, Mahasiswa Filologi Pasca Sarja UIN Jakarta dan Peneliti Naskah Palembang.

Menurut Mas’udi (STAI Kudus, Jawa Tengah) sejarah penyebaran agama Islam di pulau Jawa memiliki akar historis yang sampai detik ini belum tuntas untuk dimengerti otentisitas kemunculannya.

Realitas ini karena minimnya sumber primer sehingga menjadikan semua fenomena kesejarahan yang berlangsung berabad-abad lamanya menjadi kabur. Lebih lanjut Mas’udi menyebut salah satu tokoh yaitu Sunan Kudus yang cukup sulit untuk menelisik rekam jejak terutama silsilah nasab.

Hal ini dikarenakan ada banyak versi diantaranya menurut Rahmad Sulendraningrat, sebagaimana yang dikutip oleh Agus Sunyoto (lihat: Atlas Walisongo) Sunan Kudus adalah putra Sunan Undung. Sunan Undung sendiri adalah putra dari saudara sultan Mesir, adek dari Rara Dampul.

Sedangkan menurut Nur Sa’id, Sunan Kudus bernama asli Sayyid Ja’far Shadiq bin Sayyid Usman Haji bin Raja Pandita bin Ibrahim as-Samarqandi dari sini silsilah nasabnya sampai ke Sayyidina Ali Karrama Allah Wajha suami Fatimah binti Rasulullah Saw.  

Kekaburan sejarah seputar Sunan Kudus nampaknya sedikit terobati melalui naskah kuna yang terdapat di Uluan Palembang. Kisah perjalanan dakwah dan kiprah Sunan Kudus dalam dunia pendidikan Islam terkonfirmasi dengan cukup baik dalam naskah kuna yang dikoleksi oleh masyarakat Muara Enim, Sumatera Selatan.

Sumber primer yang menginformasikan tentang Sunan Kudus, naskah beube karang enim. Naskah tersebut ditulis dalam aksara ulu/serat ulu (aksara asli masyarakat Sumatera bagian Selatan) dan sudah dialih aksarakan oleh Muhammad Nur Anshari pada tahun 1973 disaksikan oleh tetua adat setempat.    

Dalam Bebue Karang Enim, terdapat informasi bahwa Syekh Ja’far Shadiq diperintahkan oleh Raden Fatah Sultan Demak untuk berdakwah bersama Syekh Jalaluddin ke uluan Palembang tepatnya di Muara Enim. Selain Syekh Ja’far Shadiq, Syekh Jalaluddin juga ditemani oleh dua ulama yaitu Syekh Ahmad Muhammad dan Syekh Yusuf Ibrahim.

Masing-masing dari mereka mencari sepuluh murid yaitu Syekh Jalaluddin punya sepuluh murid, Syekh Yusuf Ibrahim punya sepuluh murid, Syekh Ahmad Muhammad punya sepuluh murid dan Syekh Ja’far Shadiq punya sepuluh murid. Mereka membuat empat puluh pemondokan yang diperuntukkan untuk empat puluh murid/santri sebagai tempat pembelajaran agama. 

Tertulis dalam naskah Beube Karang Enim: 

“Cerite dikate, Syaikh Jalaluddin juge Yusuf Ibrahim ade pule Achmad Muhammad ade same ngumbare Lemah Pari negahe Demak. Mehike ade besue haje kuase negahe Selam mehintah bijaksane tekate pule sakti tiade tekire, name disebut Raden Al-Fattah. Cerite becerite Raden Al-Fattah ade gumbire ade diserah senjate pusake, sutik kehis Terawang Jagad disebut name dan kehumungan kecik sakti. Kedue bande pusake ade digune, kebile saje negahe ade huru-hara, juge dapat digune haje ngumbare jagat. Raden Al-Fattah haje kuase negahe Selam ade mehintah seuhang muhid sakti juge setie tekate pekase tiade tekire, Ja’far Siddiq disebut name. ia diperintah Haje Raden Al-Fattah tuhut ngumbare ade besame Syaikh Jalaluddin, juge die besame Achmad Muhammad, ade pule Yusuf Ibrahim juge Ja’far Siddiq tehus ngumbare.  Mehike tehus ngumbare ade dikate tuhun gunung Bungkuk tehus ade singgah pule Bukit Sulap. Ade pule tanah Besemah tehus tuhun Aik Lematang tibe Muahe Hening. Mehike ade sekate cakau lemah ilok. Muahe Hening tanah ilok ade dimilik, diputus kate same bejanji, janji bejanji sepakat kate ajaran igame Selam pokok utame ade dikumbang. Mule dikate Syaikh Jalaluddin, Yusuf Ibrahim, Ja’far Siddiq juge Achmad Muhammad, mehike ade muhid ade patang puluh uhang. Mehike ade pule ade bemilik Patang Puluh Bubung, seuhang bemilik sutik digawi same-besame, itu dikate Patang Buluh Bubung itu pile dusun mule Muahe Hening. Patang Puluh muhid ade sekate juge Yusuf Ibrahim, Achmad Muhammad juge Ja’far Siddiq ade same bekate same bejanji, Syaikh Jalaluddin diambik jadi haje kuase Muahe Hening negahe”. 

Artinya: Menurut Cerita Syekh Jalaluddin, Syekh Yusuf Ibrahim, Syekh Ahmad Muhammad mengembara ke negeri Demak. Mereka bertemu dengan penguasa Islam yang bijaksana yaitu Raden Fatah. Raden fatah senang dengan kehadiran mereka sehingga Ia menghadiahkan sebilah keris yang bernama Terawang Jagad dan Gong Kecil. Kedua pusaka itu dapat digunakan bila sewaktu-waktu terjadi huru hara. Selain itu Raden Fatah juga merintahkan seorang ulama bernama Ja’far Shadiq untuk berdakwah bersama Syekh Jalaluddin. Mereka terus mengembara sampai di gunung bungkuk (Bengkulu) kemudian berhenti di Bukit Sulap setelah itu mereka menuju Tanah Basemah (Lahat) sambil mengikuti aliran sungai lematang tiba di Muara Enim. Disana mereka berjanji bahwa tujuan utama adalah menyebarkan agama Islam. Pada akhirnya mereka berempat (Syekh Jalaluddin, Syekh Ahmad Muhammad, Syekh Yusuf Ibrahim, dan Syekh Ja’far Shadiq) memiliki masing-masing sepuluh murid dan masing-masing murid disiapkan pemondokan. Dari sinilah asal usul kota Muara Enim. Mereka sepakat menunjuk Syekh Jalaluddin sebagai pemimpin mereka.    

Berdasarkan berita naskah dari uluan Palembang tersebut, Ja’far Shadiq yang dimaksud besar kemungkinan Sunan Kudus. Terlihat begitu jelas bahwa transmisi keilmuan Sunan Kudus tidak hanya pada masyarakat tanah Jawa. 

Sepuluh murid yang Ia didik di Muara Enim adalah bukti rekam jejak Sunan Kudus sebagai ulama pengembara. Disamping itu tidak mengherankan bila kebanyakan ulama besar Palembang keturunan Sunan Kudus seperti Kiai Pedatuan, Kiai Zen Syukri dan sebagainya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement