Jumat 02 Oct 2020 10:21 WIB

Hamka: Beberapa Pengalaman dengan Komunis

Tulisan Hamka Soal Pemberontakan PKI Madiun 1948

Pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948.
Foto:

 

Dari pihak Masyumi tidak banyak [yang] datang dalam rapat itu. Yang banyak hanyalah “partai-partai” yang tumbuh karena “boleh berpolitik”, berpuluh banyaknya. Semuanya setuju, suara bulat, Hamka ketua Front Nasional, Anti Imperialist! Dan untuk mempercermin tenaga rakyat, diminta pula Sdr. H. Udin Rahmany turut dalam Dewan Pimpinan [Front Nasional itu]. Sedang Sdr. H. Udin Rahmany ketika itu adalah Ketua Harian dari pimpinan Masyumi daerah.

“Bagus” benar politik itu. Kominis yang selama ini tidak mendapat pintu ke dalam hati Rakyat, hendak memakai orang yang anti Kominis menjadi kuncinya. Dan Sekretariat hendaknya dalam tangannya.

Kamu tahu! Tiga hari setelah “Front Pertahanan Nasional” hendak dibelok[kan] menjadi “Front Nasional”  itu terbentuk, saya dan Sdr. H. Udin Rahmany berkirim surat kepada Front tersebut, bahwa kami tidak sanggup duduk di dalamnya.

Kami menarik diri, habis perkara!

Cepat benar putaran roda pembentukan itu. Tanggal 7 Front itu dibentuk, tanggal 10 September 1948 kami tarik diri, dan tanggal 18 September, pecahlah revolusi Kominis di Madiun.

Dan ketika pecah pengkhiatan Madiun itu, Resident Sumatera Barat, Mr. St. Mohd. Rasjid, meminta bantuan saya “mengamankan” rakyat. Saya diberi oto. Saya bawa Dt. Simaradjo berkeliling. Dan kesempatan ini saya pakai buat menjelaskan pengkhianatan kominis kepada rakyat.{61}

Sebab saya menarik diri, tidaklah jadi terbentuk “Front Nasional”, gagal sebelum dapat dipertalikan dengan [pem]berontak Madiun.

Sebulan di belakang dapatlah tikaman dari rusuk yang dilakukan kominis di Madiun itu disapu bersih. Sdr. Chatib Sulaiman telah melanjutkan MPRD dan menyusun Barisan Pengawal Negeri dan Kota [BPNK]. Tetapi kaum Kominis di Sumatera Barat belum putus asa. Kepada Resident Sumatera Barat dianjurkan[nya] supaya suatu Kesatuan Nasional dibentuk kembali, meskipun tidak bernama Front Nasional.

Beberapa pemimpin rakyat dari partai yang lain setuju pula dengan anjuran itu. Di antaranya Djuir Muhammad dari Partai Sosialis Indonesia, Chatib Sulaiman dan St. Soelaiman dari PNI – Sdr. Marzuki Yatim pun setuju dalam prinsip.

Lalu diadakan kembali musyawarat, atas undangan Komite Nasional Daerah. Maksudnya ialah supaya tenaga rakyat di daerah itu jangan terpecah-belah dalam mempertahankan daerah, dan jangan sampai pengaruh perpecahan di Jawa mendalam pula di Sumatera Barat.

Tidak sepakat mendirikan “Front Pertahanan Nasional”!

Tidak sepakat “Front Nasional anti Imperialis.

Yang [di]sepakat[i] ialah “Balai Permusyawaratan Nasional”. Partai-partai tidak akan terikat. Masing-masing akan bebas [menentukan] sikap sendiri. “Balai” hanya untuk bertukar pikiran dalam suasana politik kedaerahan.

Suarapun bulat! Udara rapat amat jernih!

Sekarang siapa pula Ketuanya? Lagi-lagi Hamka!

Djuir Muhammad dari PSI mengeluarkan suara yang berirama membujuk saya, menyuruh saya berkorban untuk kepentingan bangsa dan nasional.

Waktu itulah saya memberikan jawab[an] tegas tentang pendirian hidup saya. “Saya ini bukan orang pulitik! Kata orang saya ini hanya pujangga. Giliran saya sudah habis. Sekarang adalah keaktifan setiap partai menanam ideologi. Badan[-badan], dewan-dewan, balai-balai, hanyalah sebutan manis belaka, yang hasilnya tidak akan ada. Dan kalaupun akan ada, bukanlah lagi saya orangnya, yang pantas diketuakan. “Pulitik” dan “Pujangga” kalau disatukan, mestilah hilang “Pu”-nya, dan tingga “jangga”. Orang Minangkabau membahasakan “janggal” dengan “jangga”.

Main habis, orang semuanya tertawa, dan “Balai” pun tidak jadi terbentuk, yang kalau terbentuk akan jadi alat yang bagus bagi Komite Nasional atau diperalat oleh kominis.

Seminggu pula setelah gagal membentuk “Balai Permusyawaratan Nasional” itu, datanglah serangan Belanda yang kedua. Pimpinan perjuangan terserah kepada orang yang dipercayai rakyat.

Perjuangan hebat, hubungan putus dan pimpinan PDRI ada di Sumatera. Sampai akhirnya timbul Roem-Royen Statement, Republik kembali ke Yogya dan KMB. – Di waktu itu jugalah kominis aktif kembali dengan caranya sendiri.

Di mana-mana mulailah kedengaran cela makian kepada Kabinet Hatta. Hatta menjual Negara kepada Belanda. Maki-makian ini diatur di mana-mana, sampai di warung-warung kopi. Padahal belum lagi penyerahan Kedaulatan.

 

Beberapa “Pareman [preman] cap-gajah” disuruh ngobrol di lepau-lepau mencela Hatta! Pengkhianatan Madiun hendak dilipur begitu saja dengan memaki Hatta. [Hal itu dilawan oleh] beberapa orang pemuda Islam, {62} (di Sumatera Barat tak usah kuatir, sebab semua Islam). Bahkan kominis itu sendiri pun Islam “juga”, tapi dikudai oleh Kominis. Pemuda-pemuda Islam itu mengambil sikap, yaitu “mencari pasal”. Ketika alat-alat burung beo kominis itu mencela-cela Bung Hatta pada satu lepau, datang seorang pemuda Islam. “Apa katamu kepada Bung Hatta? Kau katakan Hatta pengkhianat? Coba ambil kaca, lihat mukamu! Macam kau [ini] hendak menggantikan Hatta?” – Lalu bertengkar, dan…..pang!” Ditinjunya muka kaki tangan kominis itu. Berpuluh orang yang duduk di lepau itu tak ada yang membelanya, semua menyalahkannya: “Adakah Hatta mau dicela!”

Mulanya si kaki tangan [kominis itu] masih menjawab: “Awas waang! Jiwa[mu] terancam! Partai kami kuat!”

Pemuda Islam yang palak tadi lalu menjawab dengan beransangnya: “Japutlah [jemputlah] Pak Muso waang itu ke kuburnya! Jeput Amir Sjarrun Fid Din(*) ke liang lahat. Jeput Tuanku Nan Hitam [dan] Tuanku Nan Putih-mu ke dalam tanah. Nak den sudahi gadangnyo siko!”. Atau waang den utus menjemputnya?”

Sejak itu mencela Hatta di muka ramai [mereka] tak berani lagi.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement