Rabu 30 Sep 2020 09:58 WIB

Umat Islam dan Sejarah 1965

Umat Islam ternyata abai akan pentingnya sejarah PKI dan G30SPKI 1965.

Massa berunjuk rasa di kantor CC PKI yang terletak di Jl Kramat Raya Jakarta atau persis berada di sebarang kantor PBNU, pasca meletusnya peristwa G30S/PKI..
Foto:

Itu sebabnya teori persoalan internal Angkatan Darat bukan saja lemah tetapi berfungsi membebaskan PKI dari peristiwa 30 September 1965. Dan memang persis hal ini yang diinginkan oleh Aidit. Perwira Angkatan Darat yang anti-komunis tersingkir tetapi dalang di balik gerakan biadab tersebut tidak diketahui. Sesungguhnya hal ini pula yang diucapkan Aidit kepada Mao Tse Tung, pemimpin Partai Komunis Cina, ketika mereka bertemu pada 5 Agustus 1965.

Dalam percakapan mengenai kemungkinan perebutan kekuasaan setelah Sukarno meninggal, Aidit membeberkan rencananya kepada Mao:

“Menurut skenario pertama, kita merencanakan untuk membentuk sebuah komite militer. Sebagian besar anggota komite akan terdiri dari orang-orang sayap kiri, namun juga akan memasukkan beberapa elemen tengah. Dengan cara ini, kita akan membuat musuh kita kebingungan. Musuh-musuh kita akan tidak merasa yakin tentang apa hakikat dari komite ini, dank arena itu para komandan militer yang bersimpati kepada sayap kanan akan tidak menentang kita dengan segera. Kalau kita langsung mengibarkan bendera merah kita, mereka akan segera menentang kita. Kepala komite militer ini haruslah anggota rahasia partai kita, namun dia akan mengidentifikasi diri sebagai orang yang netral. Komite militer ini tidak boleh berkuasa terlalu lama. Sebab kalau tidak, orang baik akan berubah menjadi orang jahat. Setelah komite ini terbentuk, kita perlu mempersenjatai kaum buruh dan tani, dalam waktu yang tepat. “ (Taomo Zhou : 2014)

Tentu tak perlu sulit memaknai bahwa yang dimaksud Aidit “Komite Militer” adalah Dewan Revolusi yang dipimpin oleh Untung. Meski mayoritas komite tersebut bersimpati pada sayap kiri , tetapi sebagaimana dibeberkan Aidit, akan dimasukkan juga orang-orang yang netral agar menghindari kecurigaan kelompok militer anti-komunis. Dan memang inilah yang terjadi di 1 Oktober 1965.

Percakapan ini Aidit dan Mao ini diolah oleh Taomo Zhou dari arsip Partai Komunis Cina yang sudah dibuka untuk publik (tetapi kemudian ditutup kembali). Artikel Zhou bukan barang baru. Diterbitkan jurnal Indonesia, Universitas Cornell, AS pada tahun 2014. Namun tampaknya tidak mempengaruhi kesimpulan Melvin atau Geoffrey Robinson.

Robinson meski menyebut temuan Zhou, namun tidak banyak mengelaborasinya. Robinson malah mempersoalkan “biro chusus” dan mempertanyakan mengapa PKI berniat merebut kekuasaan dengan mempertaruhkan semua pencapaian yang telah mereka miliki. (Robinson: 2018)

Padahal jawaban tersebut dapat dirujuk kembali pada percakapan Aidit dengan Mao yang dikutip dalam artikel Zhou di atas. Aidit dan Mao khawatir dengan kesehatan Sukarno yang memburuk.

Mao: “Menurut saya, golongan sayap kanan berencana untuk merebut kekuasaan. Apakah kalian juga punya rencana itu juga?

Aidit: [Sambil menganggukkan kepala] “Kalau Soekarno meninggal, itu adalah masalah siapa yang berada di atas angin.” (Taomo Zhou: 2014)

Saat itu adalah masa untuk saling mendahului antara dua kekuasaan di bawah Sukarno, jika Sukarno tak (mampu) lagi memimpin. Entah PKI dahulu yang menghabisi para elit militer anti-komunis atau sebaliknya. Rencana yang dibeberkan Aidit kepada Mao akhirnya memang dilaksanakan pada malam 30 September 1965, meski akhirnya tidak sesuai harapan, karena Sukarno kemudian berbalik badan.

Sedemikian terang benderang pun nyatanya tidak mampu menggoyahkan argumen penulis seperti Robinson. Alih-alih ia mengajukan pertanyaan seperti, mengapa militer membiarkan Harian Rakjat terbit pada 2 Oktober dan mengapa militer tidak mendatangi kantor surat kabar PKI tersebut. (Geoffrey Robinson: 2018)

Lebih lanjut, Ia malah kemudian terjerembab dalam teori konspirasi miliknya: Editorial Harian Rakjat dibuat oleh seseorang yang hendak membuktikan kesalahan PKI. Padahal pertanyaan dan dugaan semacam ini sudah dijawab oleh John Roosa. Editorial sudah dibuat sebelum militer melarang dan kenyataannya kantor Harian Rakjat didatangi oleh pihak militer. Editorial pun dibuat oleh orang yang jelas terkait dengan partai. (John Roosa: 2008)

Sulit bagi kita untuk menerima argumen-argumen seperti Robinson di atas. Akhirnya memang seringkali penulisan sejarah peristiwa pasca September 1965 ditulis dengan mengabaikan kondisi pra-65 dan menutup mata dari keterlibatan partai dari peristiwa malam 30 September 1965.

Dari contoh seperti ini akhirnya memang amat diperlukan bagi umat Islam untuk menulis sendiri peristiwa 1965 dari segala aspeknya, termasuk pembahasan mengenai peristiwa pasca 1965 yang sering digugat. Sayangnya kita masih sedikit menemukan literatur seperti ini. Umat Islam masih terlalu nyaman bersandar pada narasi versi orde baru dan seperti tertidur dalam buaian film G-30 S/PKI.

Hal ini tentu berbahaya bagi generasi masa mendatang. Mereka tidak lagi mempercayai narasi versi Orde Baru yang banyak tambal sulamnya (jika tidak mau disebut propaganda), tetapi juga tidak menemukan referensi yang memadai dari kalangan umat Islam sendiri. Sehingga perlahan-lahan situasi mungkin akan berubah. Kecuali memang umat perlahan sadar, terbangun dari buaian film G-30S/PKI dan mau menuliskan kembali soal peristiwa 1965 secara serius.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement