Rabu 30 Sep 2020 09:58 WIB

Umat Islam dan Sejarah 1965

Umat Islam ternyata abai akan pentingnya sejarah PKI dan G30SPKI 1965.

Massa berunjuk rasa di kantor CC PKI yang terletak di Jl Kramat Raya Jakarta atau persis berada di sebarang kantor PBNU, pasca meletusnya peristwa G30S/PKI..
Foto:

Peristiwa 1965 dianggap berdiri sendiri dan terlepas dari rangkaian peristiwa-peristiwa sebelumnya, baik Pemberontakan Madiun 1948 maupun teror yang dialami kelompok antikomunis, khususnya umat Islam sebelum tahun 1965.

Pengungkapan kondisi sebelum 1965 sangatlah penting untuk melihat sebab-akibat dan dampak politik polarisasi yang dimainkan elite di masa orde lama. Bahkan bayangan tentang kekejaman dari Pemberontakan Madiun 1948 masih menghantui kelompok anti-komunis pada saat itu.

Menulis peristiwa pasca September 1965 tanpa mengangkat masa-masa terror sebelumnya akhirnya juga turut menghilangkan suara para korban sebelum tahun 1965. Baik itu di kalangan elite politik maupun di akar rumput. Kita, tentu saja tidak akan menemukan suara-suara umat Islam yang terteror di karya yang mempersoalkan peristiwa pasca 1965 seperti Geoffrey Robinson  atau Jess Melvin. Dua penulis asing yang mempersoalkan persitiwa pembunuhan pasca September 1965.

Geoffrey Robinson misalnya, dalam karyanya The Killing Season: A History of the Indonesian Massacres, 1965-1966 (diterjemahkan menjadi Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal Di Indonesia 1965-1966; 2018) dalam bab Pra-kondisi tidak menulis sebarispun tentang para koban pembantaian oleh PKI dalam pemberontakan Madiun 1948.

Alih-alih, Robinson mempersoalkan eksekusi para anggota PKI yang terlibat dalam pemberontakan dan menggugatnya dalam kalimat;

“Selama pelaksanaan operasi ini, mereka menangkap sekitar tiga puluh lima ribu anggota PKI dan membunuh banyak orang. Terkadang para korbannya dibunuh melalui eksekusi massal yang mengerikan,” tulis Robinson (Geoffrey Robinson: 2018)

Robinson dan banyak penulis serupa lainnya tentu tak mau repot-repot memikirkan penyebab terjadinya pembunuhan yang dia sebut mengerikan kepada anggota PKI yang terlibat pemberontakan. Dia tidak (merasa) perlu menuliskan bahwa banyak dari kaum santri dan kiyai yang dieksekusi tak kalah mengerikannya.

Ketimpangan lain dalam mengupas peristiwa pasca 1965 adalah kerap dikaburkannya arsitek di balik pembunuhan para perwira Angkatan Darat di malam kelam 30 September 1965. Jess Melvin misalnya dalam artikelnya yang mengupas keterlibatan AS dalam mendorong pembunuhan pasca 1965, menyebut peristiwa malam 30 September sebagai aksi internal militer yang gagal (a failed internal-military action).

Teori yang menunjuk malam 30 September 1965 sebagai konflik internal militer (Angkatan Darat) tentu saja teori kadaluwarsa yang kerap didaur ulang. Teori persoalan internal Angkatan Darat ini pertama kali dicetuskan oleh Ben Anderson dan Ruth McVey yang menerbitkan kumpulan makalah mereka, setahun setelah peristiwa 30 September. (Hanibal WIjayanta: 2017)

Makalah yang kemudian dikenal Cornell Paper ini pada masa itu tentu saja menimbulkan pro dan kontra. Pada masa itu dengan segala keterbatasan sumber, tampak wajar jika kedua peneliti dari Universitas Cornell, AS itu menyimpulkan demikian. Tetapi seiring berjalannya waktu, kesimpulan tersebut tampak lemah.

Teori persoalan internal Angkatan Darat sebenarnya sejalan dengan isi editorial dari surat kabar PKI, Harian Rakjat pada edisi 2 Oktober 1965. Dalam editorial yang mendukung gerakan malam 30 September 1965 itu, redaksi Harian Rakjat menulis,

“Kita Rakjat memahami betul apa jang dikemukakan oleh Letkol Untung dalam melakukan gerakan jang patriotik itu. Tetapi bagaimanapun djuga persoalan tsb. Adalah persoalan intern AD.” (John Roosa: 2008)

Tak pelak, editorial itu sesunguhnya mencoba mendukung gerakan Untung Cs, tanpa mau melibatkan PKI di dalamnya. Teori persoalan internal AD ini kemudian seringkali didengungkan meski sudah kehilangan daya argumennya. Kenyataannya, apa yang terjadi sesungguhnya (setidaknya sebagian besarnya) sudah terang benderang.

Di balik peristiwa 30 September 1965 berdiri Biro Chusus, sebuah badan rahasia dalam PKI yang bertugas membina para perwira militer yang bersimpati pada partai. Badan ini dipimpin oleh Sjam Kamaruzzaman. Hanya segelintir elit partai yang mengetahui tindak tanduk Biro Chusus ini. Sjam melapor langsung kepada ketua partai, D.N. Aidit. (John Roosa: 2008)

Biro Chusus memang sebuah badan klandestin dalam partai yang beroperasi sejak awal 1950-an. John Roosa sendiri dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (2008) menunjukkan eksistensi dan peran badan ini dalam malam 30 September 1965. Sehingga peran badan ini sendiri, termasuk keterlibatan Biro Chusus dalam malam 30 September 1965, tidak diketahui seluruh anggota atau bahkan elit partai.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement