Ahad 27 Sep 2020 07:41 WIB

Revolusi Tiga Daerah: Rusuh Kaum Kiri di Awal Kemerdekaan

Rusuh di bulan pertama kemerekaan Indonesia yang dikobarkan oleh kaum kiri.

Bagaimana dengan pergolakan yang terjadi di kota kabupaten. Mari kita amati jalannya revolusi sosial di kota Brebes ini.

Selama pergolakan sosial pada bulan Oktober, hubungan antara ibu kota kabupaten dengan desa-desa di daerah pedalaman menjadi semakin sulit. Banyak orang takut bepergian keluar kota, karena khawatir akan diculik dan kehilangan nyawa. Apalagi jalan-jalan yang menghubungkan desa-desa pedalaman kekabupaten banyak melewati hutan-hutan.

Ada beberapa pangreh praja yang berhasil meloloskan diri, ada pula yang tidak diketahui bagaimana nasibnya. Banyak camat melarikan diri ke ibu kota kabupaten dan karesidenan pekalongan, tetapi pergolakan sosial tampaknya mengejar pangreh praja sampai ke ibu kota karesidenan.

Pengumuman bahwa tentara sekutu akan menduduki Jawa pada waktu singkat telah melibatkan bupati ke medan pertikaian terbuka dengan kaum revolusioner di Brebes. Walaupun pada akhirnya Bupati menerima kemerdekaan Indonesia, keragu-raguan terhadap pangreh praja, yang oleh pemuda Brebes Sugeng Hargono dinamakan kelompok Mosvia, itu tetap berlanjut.

Penentangan pangreh praja terhadap gerakan revolusioner timbul dalam berbagai cara, di samping BKR (badan keamanan Rakyat)/ TKR (tentara Keamanan Rakyat) resmi yang di bentuk pada bulan September di Brebes maka wedana Brebes R. Sudirman membentuk “BKR gelap” yang rupa-rupanya digunakan untuk melindungi pangreh praja.

Ketua KMI Brebes, Kartohargo, dalam siding pengadilan mengatakan bahwa BKR gelap ini terdiri dari bajingan-bajingan yang tidak di sukai rakyat, karena merasa dekat dengan pangreh praja mereka sering berlaku tidak adil. Selain AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia) Brebes pimpinan Kartohargo, beberapa pemuda bersama beberapa lenggaong membentuk AMRI-1 (Angkatan Muda Republik Indonesia Islam).

Mereka itulah yang terlibat dalam pertentangan dengan BKR/TKR dan AMRI Brebes. Mereka menganggap bahwa AMRI Brebes merupakan cabang AMRI-I Slawi, dan menguasai sebuah penggilingan padi. BKR/TKR resmi diakui oleh AMRI-I sebagai kelompok pemuda nakal yang islamnya tidak sungguh-sungguh.

Dalam menanggapi situasi sosial yang semakin memburuk, patih Brebes datang ke kantor KNI membawa surat dari bupati, yang mengatakan bahwa semua pangreh praja bersedia meletakan jabatan kalau rakyat tidak menghendaki mereka. Bupati meminta KNI mencabut pernyataan dan diumumkan di depan rapat para pemimpin rakyat yang diselenggarklan oleh Kartohargo selaku juru penerang KNI.

Rapat KNI Brebes ini di kacau oleh pemimpin AMRI. Kartohargo menegaskan bahwa sekalipun mereka dalam revolusi, tetapi jangan main hakim sendiri jika ingin menggati pejabat, teruskanlah keinginan itu melalui KNI. Mukhsan menjawab bahwa dialah yang berkuasa di Brebes bukan Kartohargo.

Wedana Brebes berusaha melindungi Mukhsan yang mempunyai wibawaa besar di pasar Batang. Tokoh AMRI-I ini diharapkan dukungannya kepada wedana yang semakin tersisih dari kalangan perjuangan. Wedana Soedirman meminta agar Kartohargo membebaskan Mukhsan yang hendak ditangkap. Wedana juga menyarankan kepada kepala kepolisian kabupaten, tetpi polisi juga menahan orang-orang AMRI-I lainya, karena pembunuhan terhadap orang-orang Indo di Jatibarang. Mukhsan melarikan diri, kemudian ia ditangkap kembali oleh PKN (penjaga keamanan Negara) yang terbentuk pada minggu kedua bulan Oktober untuk menggantikan kepolisian lama. Kemudian ia dibawa keasrama PKN , dan kemudian dikirim ke penjara Tegal.

Tawaran bupati kepada pangreh praja Brebes untuk meletakkan jabatan ternyata sudah terlambat. Ketegangan di kota Brebes semakin menjadi. Pada tanggal 18 oktober malam, Bupati Sarimin Reksadihardja, patih palal pranoto, dan sejumlah vedana (antara lain slamet wedana Tanjung, dan Soedirman Danoewilogo, wedana Brebes) adalah orang yang diculik dan dibawa ke suatu tempat di Tegal Selatan.

Pada tanggal 21 oktober mereka dibawa ke markas API (Angkatan Pemuda Indonesia) Tegal dan dua hari kemudian dibawa ke sebuah perkebunan milik orang Indo yang telah dilbunuh beberapa hari sebelumnya. Di sinilah mereka bertemu densagan pangreh praja lainnya.

Setelah dilakukan pemeriksaan, sepuluh hari kemudian, para pangreh praja itu diambil, dan dibawa kembali ke penjara Tegal. Patih, wedana Tegal, sekretaris Kabupaten, serta dua orang pejabat lainnya atas nasehat KNI berlindung di penjara, yang merupakan satu-satunya tempat yang aman bagi mereka.

Tetapi nyatanya pemerintah karesidenaan Pekalongan dan tentara menuduh kaum revolusioner telah memenjarakan para pejabat. Hal ini disebabkan karena mereka berada di penjara bersama dengan pangreh praja Brebes yang diculik. Tetapi kemudia barisan pelopor menjelaskan bahwa para pejabat itu tinggal di penjara karena meresa tidak aman tinggal di tempat lain.

Pada waktu itu memang penjara benar-benar merupakan tempat yang aman untuk berlindung dari amukan massa. Akibat aksi-aksi pendaulatan, maka timbulah kekosongan kekuasaan. Pemerintah boleh dikatakan lumpuh. Alat keamanan tak berdaya, dan alat pemerintahan lainnya hampir tidak berfungsi lagi. Ini terjadi karena banyak jabatan pemerintahan yang lowong.

Dalam keadaan darurat pengisian lowongan jabatan segera dilakukan, meskipun tidak menurut prosedur administrative yang legal-rasional sebagaimana mestinya.

Satu hal yang cukup menarik adalah bahwa jabatan bupati di Brebes dan Tegal diisi dengan menunjuk pemuka agama yang berpengaruh di daerah masing-masing. Kyai Haji Syatori ditunjuk untuk menjabat Bupati Brebes. Sedangkan Kyai Abu Suja’I, pemuka agama yang berasal dari Desa Pacul, Tegal Selatan, ditunjuk menjadi Bupati Tegal.

Hanya di Pemalang jabatan Bupati dipegang oleh orang yang bukan pemuka agama yaitu Supangat, bekas mantra Klinik yang disinyalir berhaluan kiri.

Dalam situasi seperti ini hubungan antar daerah menjadi tegang dan putus. Hal ini diakibatkan oleh lenyapnya hubungan yang komunikatif antar daerah. Tiap daerah berusaha menjaga daerah masing-masing. Demikian pula hubungan dengan pemerintahan Karesidenan di Pekalongan juga menjadi putus dan penuh ketegangan. Lalu lintas terhambat, karena di tiap perbatasan Kabupaten, terutama antara Kabupaten Pekalongan dengan daerah yang sedang bergolak itu, terdapat penjagaan ketat. Penduduk masing-masing daerah mencurigai orang yang masuk daerah lain.

Satu-satunya cara untuk berhubungan dengan pusat ialah harus pergi ke Jakarta. Dua pemimpin Brebes, Kartohargo dan Maksum, mengunjungi kementrian sosial, meminta bantuan tentang bagaimana caranya menghentikan kekacauan di Kabupaten Brebes. Di sana mereka diberi saran agar menghadap kementrian dalam negeri. Mereka mendapat keterangan bahwa situasi Brebes hanya dapat dipecahkan oleh KNI setempat, karena pemerintah pusat belum mampu mengurusi situasi daerah.

Mereka diberi sepucuk surat agar menemui Gubernur Jawa Tengah di Semarang. Di kantor Gubernur di Semarang, Kartohargo dan Maksum diberitahu agar menunggu instruksi adari atas. Suatu jawaban untuk Kartohargo dan Maksum setelah mereka kembali ke Brebes adalah pengumuman politik dari pemerintah Jakarta, pengumuman yang dikeluarkan pada tanggal 27 oktober dan ditandatangani oleh Soekarno-Hatta, berisi tentang peringatan untuk rakyat agar tidak bertindak sendiri-sendiri, karena dapat menimbulkan anarki dan tumbangnya republik.

Pejabat dan penguasa yang bersalah akan diturunkan dari jabatannya. Tuntutan-tuntutan harus diajukan melalui pemerintah atau perantaraan Komite Nasional Daerah sebagai wakil rakyat sementara.

Tentunya pengumuman ini bertentangan denagan kenyataan bahwa di Tiga Daerah aparat daerah setempat telah tercemar, dan KNI-nya tidak mempunyai kekuasaan untuk memainkan peranan seperti yang diharapkan oleh pusat.

Adalah menarik bahwa dalam situasi yang kacau dan kosong akan kekuasaan itu, maka kedatangan Widarta dan K. Mijaya sebagai utusan pribadi Menteri Penerangan sangat penting. Rupanya para pemimpin perjuangan seperti Kartohargo, yang sadar atau tidak sadar akan identitas politiknya, sedang berjuang menghadapi kelompok-kelompok lain yang merupakan saingan dalam mencapai tujuan revolusi. Mereka membawa kuasa pemerintah pusat, yang berarti membawa instruksi dari atas yang sudah ditunggu-tunggu itu.

Instruksi tersebut adalah perintah untuk mewujudkan Badan Pekerja menggantikan KNI lama yang tidak berfungsi lagi. Badan pekerja itu merupakan hasil ide K.Mijaya, sedangkan pengaruh Widarta dapat dilihat dalam Front Persatuan yang dinamakan GBP3D.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement