Senin 21 Sep 2020 16:42 WIB

Curhat Laila untuk Amerika Serikat: Karena Saya Arab Muslim?

Laila Lalami Muslim Arab Maroko kisahkan pengalamannya di Amerika Serikat.

Rep: Mabruroh/ Red: Nashih Nashrullah
Muslim Arab mengalami kesulitan akses layanan di Amerika Serikat. Bendera Amerika Serikat

photo
Kelompok Muslim Amerika Serikat mengampanyekan anti Islamofobia - (world bulletin)

Kecintaannya dengan Maroko kerap membuatnya selalu membayangkan kabar keluarganya. Tapi dia sadar, setiap kali keluar apartemen, dia telah berbicara dengan bahasa asing, yang kalimatnya harus saya susun dengan hati-hati. 

Tapi bahasa bukan hal yang sulit, ungkapnya. Ada begitu banyak perbedaan antara negara asalnya dengan Amerika. Seperti ketika makan di hadapan orang lain di asrama adalah hal yang wajar saat tidak berupaya menawarkan untuk berbagi atau tidak sopan saat mengundang seseorang untuk makan siang di restoran dan kemudian mengharapkan mereka untuk membayar makanan mereka.   

"Bagi saya, orang Amerika Serikat selalu terburu-buru, tidak pernah meluangkan waktu untuk duduk untuk minum kopi atau makan malam yang layak. Saya terkejut saat pertama kali saya melihat seorang wanita makan hamburger saat dia berkendara di jalan bebas hambatan," ceritanya.  

Kisah imigrasinya dipenuhi cinta dari suami dan keluarganya, kegembiraan dari persahabatannya, kepuasan dengan pekerjaannya tetapi tidak ada yang bisa mempersiapkan untuk sebuah kehilangan. Dia merasa banyak kehilangan, ketika tidak bisa membantu keluarganya ketika dalam masa kesulitan, hingga kehilangan ayahnya. "Dia meninggal awal bulan ini, rasa sakit karena kehilangannya tidak tertahankan dengan perpisahan kami," terangnya.  

Ini bukanlah hal aneh bagi imigran di Amerika Serikat. Karena semua imigran berjalan-jalan dengan bekas luka yang ditinggalkan oleh penyeberangan mereka ke negara baru, tanda pengasingan yang tidak terlihat yang menjadi kondisi mereka ketika mereka dicabut. Anak-anak mereka tumbuh tanpa kakek-nenek, tanpa bibi, paman, dan sepupu, tanpa cadangan memori keluarga besar.

Tidak hanya itu, mereka juga menghadapi tekanan kuat untuk melepaskan masa lalu mereka dan berasimilasi dengan arus utama. Beberapa tahun yang lalu, Presiden mengatakan bahwa Muslim gagal dalam tugas ini, dan "asimilasi mereka sangat sulit. Ini hampir, saya tidak akan mengatakan tidak ada, tetapi itu akan menjadi sangat dekat. Dan saya berbicara tentang generasi kedua dan ketiga. Untuk beberapa alasan, tidak ada asimilasi yang nyata," kata dia. 

Faktanya, menurut survei Pew Research Center yang dilakukan tidak lama setelah pemilihan Trump, mayoritas Muslim Amerika merasa bangga dengan identitas nasional dan agama mereka, puas dengan kehidupan mereka. Mereka menunjukkan komitmen beragama yang sama seperti orang Kristen. Mereka menilai menjadi orang tua yang baik sebagai tujuan yang lebih penting, daripada menjalani kehidupan religius atau memiliki karier dengan gaji tinggi. 

Melihat data demografis, dan khususnya arah tren dari waktu ke waktu, jalur asimilasi Muslim tampaknya cukup umum, mirip dengan kelompok etnis dan agama lainnya. Namun tekanan untuk berasimilasi terus berlanjut. Pada Mei 2015, lebih dari 200 aktivis, kebanyakan dari mereka bersenjata, muncul di luar masjid di Phoenix untuk memprotes kehadiran Muslim dan masjid di komunitas mereka. 

"Di bawah pandangan kaum nativis, yang baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir, asimilasi berarti subordinasi penuh pada budaya dominan dan pengusiran siapa pun yang dianggap berbeda," terangnya.

Presiden Amerika Serikat yang membangun karier politiknya di atas xenofobia, mengadakan upacara naturalisasi untuk lima imigran selama Konvensi Nasional Republik. Sambil berdiri di sebuah mimbar di Gedung Putih, dia memuji mereka sebagai individu yang benar-benar luar biasa, memberi selamat kepada mereka karena telah menjadi warga negara dan menyambut mereka ke dalam keluarga Amerika yang hebat. 

Padahal pembatasan imigrasi yang dia perintahkan mungkin telah mencegah salah satu imigran, seorang wanita dari Sudan, untuk diizinkan masuk ke negara ini. Sejak menjabat, ia telah secara efektif menutup pintu Amerika Serikat untuk imigran dari 13 negara, yang semua orangnya dianggap non-kulit putih, atau tidak cukup berkulit putih.  

Namun di sanalah dia, tersenyum untuk kamera dan mengulangi pujian usang Amerika terhadap seorang wanita yang, jika percaya pada kata-katanya dan kebijakannya. 

Wanita ini sekarang adalah warga negara AS. Tetapi baginya, dan bagi banyak orang lainnya, status itu dapat diperebutkan tanpa peringatan. Jika mereka berpegang teguh pada mode pakaian, bahasa atau kebiasaan yang tampaknya terlalu mencolok bagi mayoritas, mereka mungkin akan diberi tahu bahwa mereka tidak berasimilasi, atau tidak cukup berasimilasi. Jika mereka menyuarakan opini negatif tentang kebijakan pemerintah, mereka mungkin diberitahu bahwa mereka tidak memiliki hak untuk berbicara dan bahwa mereka harus pulang. 

"Awal bulan ini, saya menerima catatan lain dari orang asing, 'Kamu tampaknya tidak menyukai Amerika,' tulisnya dalam email. 'Mengapa kamu tidak kembali ke Maroko?" tulis seseorang itu. 

Apa yang gagal dia pahami terang Laila, adalah bahwa kritiknya bukanlah tindakan kebencian, tetapi tindakan kepedulian. Hak dan kebebasan apa yang dia miliki terikat pada orang-orang di sekitarnya. "Alih-alih membedong diri saya dengan bendera dan memuji-muji AS, saya lebih suka melakukan pekerjaan yang sabar, yang diperlukan untuk memperjuangkan keadilan dan kesetaraan. Bagi saya, itu adalah "iman dan kesetiaan sejati" dari sumpah kewarganegaraan," tegasnya.

Sumber: https://www.nytimes.com/2020/09/17/magazine/im-a-muslim-and-arab-american-will-i-ever-be-an-equal-citizen.html  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement