REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ihza Aulia Sururi Tanjung
Dahulu, ada seorang pembunuh “berdarah dingin” dari keturunan Bani Israil. Dalam riwayat sahih, sebanyak 99 nyawa telah melayang di tangannya. Hingga pada suatu saat, Allah SWT memercikkan secercah hidayah-Nya ke dalam hati yang kelam itu. Terbesitlah dalam dirinya untuk bertanya kepada orang yang sangat alim di muka bumi ‘apakah masih terbuka (pintu) tobat baginya?’. Lantas ditunjukkanlah dia kepada seorang rahib, ahli ibadah, “Tidak, (tobatmu tidak akan diterima),” jawabnya. Seketika, rahib itu pun dibunuh, sehingga genaplah jumlah korbannya 100 orang.
Setelah itu, sang pembunuh masih berharap ada alim yang sanggup memberi jawaban yang menenangkan hatinya. Kemudian, pergilah dia kepada seorang ulama. Untuk kedua kalinya, dia menceritakan masa lalunya yang kelam, lalu melontarkan pertanyaan yang sama saat bertemu dengan rahib.
Orang alim itu menjawab “Ya, siapa pula yang menghalang-halangimu untuk bertobat? Pergilah dari kota ini dan (bergegaslah menuju) kota itu. Karena di sana ada kaum yang taat beribadah kepada Allah. Beribadahlah bersama mereka, jangan kembali ke negerimu. Sebab, negerimu itu telah menjadi negeri yang buruk.”
Atas saran orang alim itu, pria yang telah menewaskan 100 nyawa dalam genggamannya bergegas hijrah dari negeri asalnya. Namun, tak disangka-sangka, di tengah perjalanan Allah SWT mengutus malaikal maut untuk menjemputnya untuk kembali ke haribaan-Nya. Lalu (datanglah) Malaikat Rahmat dan Malaikat Azab saling berseteru soal posisi akhir kehidupannya. “Dia datang dalam keadaan bertaubat dan menghadapkan hatinya kepada Allah,” ujar Malaikat Rahmat. “Tetapi, bukankah ia belum berbuat baik sama sekali ?” bantah Malaikat Azab.
Maka turunlah utusan Tuhan berupa malaikat berwujud manusia yang mengusulkan untuk mengukur ke mana jarak yang lebih dekat dari titik kematiannya. Ternyata sang pembunuh meninggal dunia lebih dekat ke tempat tujuannya (hijrah) dan ia pun kembali dalam dekapan Malaikat Rahmat.
Kisah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim ini (No. 2766), memberikan pelajaran berharga bagi kita akan arti sebuah proses atau usaha yang dilakukan manusia. Acap kali kita menilai perjuangan seseorang dari sederet prestasi yang ditorehkan dan tidak mencari tahu bagaimana jalan yang ia tempuh. Padahal, tidak semua proses berakhir dengan hasil yang manis.
Setidaknya, ada dua hikmah yang dapat diserap dari kisan inspiratif tersebut, yaitu : Pertama, jalan/proses yang ditempuh untuk menggapai kesuksesan sangat berharga nilainya dan akan berbeda-beda pada setiap insan. Pakar Tafsir Alquran, Prof M Quraish Shihab mengatakan dalam nasehatnya, bahwa Tuhan tidak bertanya 5 + 5 berapa. Akan tetapi yang ditanya ialah 10 adalah hasil dari perhitungan berapa. Artinya, kita tidak bisa mengukur kesuksesan seseorang dengan ukuran siapa pun. Karena setiap kita punya porsinya masing-masing.
Kedua, tekad berbuat baik, akan berbuah kebaikan (pahala) walau tidak terealisasi (HR. Bukhori: 6491). Walaupun sang pembunuh belum sampai ke negeri yang dituju, tetapi tekadnya untuk berbuat baik tetap menghantarkannya kepada Rahmat Sang Pencipta.
Dr Umar Sulaiman dalam kitabnya, Shahihul Qososil Anbiya, mengingatkan kita dari kisah sahih di atas, bahwa rahmat Allah SWT sangatlah luas tak bertepi. Dan hanya orang-orang bodohlah yang berputus asa dari hamparan kasih sayang-Nya. Pria yang membunuh 100 orang dalam genggamannya saja, masih Allah terima tobatnya. Lantas, apa yang membuat kita kerap pasrah dari pertolongan-Nya? Apakah kita membunuh 50 orang? Bahkan seorang pun tidak!
Semoga Allah SWT selalu menuntun kita demi meraih pencapaian yang diridhai-Nya, Amin. Allahu’alam bishowab.