Warga Rohingya di Pakistan juga mengutuk sikap komunitas internasional yang hanya diam. Padahal PBB sudah menyatakan Rohingya adalah orang paling teraniaya di dunia.
"Sudah tiga tahun, tapi tidak ada tindakan konkrit dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah Myanmar atas genosida dan penyediaan kembali pemukiman bagi Muslim Rohingya. Sebaliknya, pemerintah [Myanmar] lebih keras menganiaya mereka," kata Noor Hussein Arakani dari Forum Solidaritas Rohingya yang berbasis di Karachi.
Pada November 2019, Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) menyetujui peluncuran penyelidikan atas kejahatan terhadap komunitas Rohingya. Sebuah langkah yang ditolak oleh Myanmar yang bukan merupakan pihak dalam Statuta Roma.
Statuta Roma adalah perjanjian pendiri ICC yang berupaya melindungi komunitas dari genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. "Hanya Turki, Gambia, dan beberapa negara Muslim lainnya, yang secara konsisten memperjuangkan kasus kami di forum internasional," katanya kepada Anadolu Agency.
Menurut Arkani, kunci penyelesaian masalah Rohingya ada pada China. Sebab kekuatan veto Chinalah yang membuat penyelidikan tidak dilakukan.
"Jika China hari ini memutuskan (penyelidikan), masalah tersebut dapat diselesaikan dalam beberapa minggu," katanya seraya menambahkan Myanmar tidak dapat mengatakan 'tidak kepada China.
China adalah salah satu dari sedikit negara yang tidak mengutuk kebrutalan militer Myanmar pada 2017 terhadap Muslim Rohingya. China menyebut kejadian itu sebagai masalah internal Myanmar.
"Kami mengimbau pemerintah China tidak melihat [masalah] ini dari sudut pandang politik. Ini adalah masalah kemanusiaan. China telah menjadi teman baik dan pendukung Pakistan. Kami berterima kasih kepada negara untuk itu," katanya.
https://www.aa.com.tr/en/asia-pacific/rohingya-muslims-in-pakistan-decry-global-silence/1950892