Sabtu 15 Aug 2020 14:01 WIB

Wakaf Sebagai Solusi Bencana

Wakaf sebagai solusi penanganan bencana

Aksi Cepat Tanggap (ACT) Solo membantu merenovasi rumah warga yang hampor roboh di Kampung Jimbun, Desa Pondok, Kecamatan Nguter, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Rumah milik Maryani, janda dua anak, tersebut dinilai jauh dari kata layak huni. F
Foto:

Dalam konsep mitigasi bencana, ada beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu: bahaya, kerentanan, bencana, dan mitigasi bencana. Kita sudah sama-sama tahu bahwa bahaya, yang juga berarti “risiko” kondisi lahan kritis di Indonesia sudah masuk ancaman serius, diindikasikan dengan jumlah bencana ekologi yang terus meningkat. Kondisi ini harus menjadi perhatian bersama, tidak sekedar terus mendorong pembangunan, pembuatan pemukiman baru, dan pembukaan lahan pertanian tanpa memperhitungkan daya dukung lingkungan.

Pada level kerentanan, kejadian bencana ekologi yang terus meningkat, membutuhkan perhatian serius, tidak hanya kebijakan pemerintah yang tegas juga bersama-sama masyarakat. Mengembalikan lahan kritis yang rawan bencana dengan mengembalikan pada fungsi awalnya. Untuk mengurangi risiko bencana, perlu disusun rencana jangka pendek dan jangka panjang.

Setiap tahun, ancaman bencana ekologi terus meningkat. Korban jiwa dan kerugian material sangat banyak. Kita tidak mungkin meminta masyarakat yang sudah sejak orang tua mereka menghuni pinggiran sungai, harus pindah lokasi. Maka, mitigasi bencana dengan mengembalikan fungsi lahan kritis seperti semula.

Satu hal yang bisa dilakukan adalah alih kepemilikan lahan, dari status kepemilikan pribadi, perusahaan, menjadi kepemilikan kolektif yang dilindungi undang-undang dengan model wakaf. Secara legal, wakaf mempunyai kedudukan yang mapan berkat keberadaan UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Di Indonesia, praktik wakaf sudah berlangsung sejak lama dalam bentuk yang berbeda, tidak hanya terbatas pada wakaf pembangunan sarana umum, juga wakaf produktif. Bahkan praktik wakaf produktif pertanian menjadi model utama untuk menopang kebutuhan padepokan, fasilitas ibadah, dan pesantren.

Di Minangkabau kita mengenal tanah adat berupa lahan pertanian yang tidak boleh diperjualbelikan dan harus diwariskan ke keturunan berikutnya. Di Jawa, model wakaf dengan adanya tanah perdikan, yang dibebaskan dari membayar pajak dan hasil pertaniannya selain untuk kepentingan ibadah juga menopang kebutuhan penduduk. Hal serupa juga terjadi di Bali dan Lombok dengan model subak, ada kewajiban menyerahkan sebagian hasil pertanian untuk disimpan di lumbung padi dan akan dimanfaatkan saat upacara adat.

Konsep yang lebih modern sudah diawali oleh Aksi Cepat Tanggap (ACT) dengan mendirikan Lumbung Pangan Wakaf dan Lumbung Ternak Wakaf. Konsep yang mengupayakan lahan pertanian wakaf yang hasilnya untuk kepentingan masyarakat saat terjadi bencana alam dan krisis pangan. Model ini memberi kepastian kepada petani agar memiliki perlindungan akses dan perlindungan hak pada hasil pertanian.

Perlindungan ekosistem dengan model wakaf diadopsi menjadi solusi bencana ekologis berupa pembebasan lahan kritis dan mengembalikan pada fungsi semula. Pembebasan lahan dengan cara dibeli dari uang wakaf dan menetapkan kawasan kritis menjadi tanah wakaf, akan terjaga dari proses alih fungsi dan transaksi jual beli lahan.

Membebaskan lahan pantai yang rawan tsunami dengan dana wakaf kemudian dialihfungsikan menjadi hutan bakau agar memiliki nilai manfaat yang lebih banyak. Hal ini juga akan memberikan perlindungan sistem produksi lahan yang efisien dan berkelanjutan. Begitu juga lahan kritis di hulu sungai, perbukitan dan dataran tinggi yang rawan longsor kembali menjadi hutan resapan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement