REPUBLIKA.CO.ID, - كَانَتْ بَنُو إسْرَائِيلَ يَغْتَسِلُونَ عُرَاةً، يَنْظُرُ بَعْضُهُمْ إلى بَعْضٍ، وكانَ مُوسَى صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ يَغْتَسِلُ وحْدَهُ، فَقالوا: واللَّهِ ما يَمْنَعُ مُوسَى أنْ يَغْتَسِلَ معنَا إلَّا أنَّه آدَرُ، فَذَهَبَ مَرَّةً يَغْتَسِلُ، فَوَضَعَ ثَوْبَهُ علَى حَجَرٍ، فَفَرَّ الحَجَرُ بثَوْبِهِ، فَخَرَجَ مُوسَى في إثْرِهِ، يقولُ: ثَوْبِي يا حَجَرُ، حتَّى نَظَرَتْ بَنُو إسْرَائِيلَ إلى مُوسَى، فَقالوا: واللَّهِ ما بمُوسَى مِن بَأْسٍ، وأَخَذَ ثَوْبَهُ، فَطَفِقَ بالحَجَرِ ضَرْبًا فَقالَ أبو هُرَيْرَةَ: واللَّهِ إنَّه لَنَدَبٌ بالحَجَرِ، سِتَّةٌ أوْ سَبْعَةٌ، ضَرْبًا بالحَجَرِ.
Kisah mengenai hidupnya benda mati juga terjadi pada masa kenabian Musa. Jika Rasulullah berinteraksi dengan pohon, Musa pun memiliki pengalaman dengan sebuah batu. Kisah ini terjadi di masa Israiliyat.
Dahulu kala, Bani Israil biasa mandi di sungai tanpa pakaian. Mereka tak malu meski saling melihat satu sama lain. Tapi, kebiasaan itu tak disukai Nabi Musa. Setiap kali mandi, Musa selalu menyendiri dan enggan mandi bersama.
Bukan Bani Israil jika tak memiliki sifat membangkang. Sikap mulia Nabi Musa tersebut justru dipertanyakan mereka. Meski Musa merupakan nabi yang patut diyakini dan dihormati, Bani Israil justru mencelanya. Mereka menyebarkan gosip bahwa Musa memiliki cacat badan hingga enggan mandi bersama. Nabi Musa yang terbiasa sabar menghadapi umatnya pun hanya diam membisu. Ia enggan meladeni gosip murahan Bani Israil. Tapi, Allah enggan membiarkan utusan-Nya dicela.
Suatu hari, ketika Musa mandi dia meletakkan bajunya di atas sebuah batu. Tapi, tiba-tiba atas perintah Allah batu tersebut lari dengan kencang. Musa pun segera mengejar benda mati itu. “Wahai batu! Bajuku!” ujar Musa. Saat mengejar batu tersebut, Bani Israil melihatnya. Maka, nyatalah bahwa gosip itu tak benar. “Demi Allah tak ada cacat pada Musa,” ujar mereka. Setelah Allah menampakkannya, batu tersebut pun berhenti. Nabi Musa segera mengambil baju dan mengenakannya. Nabi pun marah kepada sang batu dan dia pun memukulnya.
Kisah batu tersebut dikabarkan Rasulullah dalam hadits riwayat Bukhari dari sahabat Abu Hurairah. Dari dua kisah di atas dapat dipetik hikmah untuk menghormati dan menaati utusan Allah. Mencintai utusan Allah merupakan bagian dari keimanan. Rasulullah pernah bersabda:
ثلاثٌ مَنْ كُنَّ فيه وجَدَ حلاوَةَ الإيمانِ : أنْ يكونَ اللهُ و رسولُهُ أحبُّ إليه مِمَّا سِواهُما ، و أنْ يُحِبَّ المرْءَ لا يُحبُّهُ إلَّا للهِ ، و أنْ يَكْرَهَ أنْ يَعودَ في الكُفرِ بعدَ إذْ أنقذَهُ اللهُ مِنْهُ ؛ كَما يَكرَهُ أنْ يُلْقى في النارِ
“Terdapat tiga hal yang apabila dimiliki seseorang tentu dia merasakan manisnya iman, Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada yang selain keduanya, dia tidaklah mencintai seseorang melainkan karena Allah, serta dia benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya dari kekafiran itu sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam api.” (Hadits riwayat Bukhari Muslim dari Anas bin Malik).