REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON – Salah satu anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menyebut Turki masih menjadi lokasi transit regional bagi kelompok teroris Negara Islam Irak Suriah (ISIS).
Tudingan itu, didasari atas laporan triwulanan Komando Eropa Amerika Serikat (EUCOM) 136 halaman tentang misi militer AS di Irak dan Suriah yang menjelaskan Turki sebagai pusat fasilitasi utama untuk personel, pendanaan, dan persenjataan ISIS.
Dalam laporannya, EUCOM mengakui, Turki baru-baru ini meningkatkan upayanya untuk menghentikan penyelundupan pesawat tempur dan material untuk melintasi perbatasan kepada Irak dan Suriah. Kontrol teritorial ISIS pun telah dikurangi di kedua negara. Namun, serangan meningkat pada April, bertepatan dengan bulan suci Ramadhan.
Laporan tersebut menyebutkan 405 serangan ISIS di Irak terjadi dalam kuartal selama Ramadan. ISIS juga memanfaatkan pembatasan yang diberlakukan pada pasukan AS akibat pandemi Covid-19.
Selain itu, serangan itu disebut ditengarai lantaran meningkatnya tekanan dari Rusia dan pemerintah Suriah Presiden Bashar al-Assad pada pemberontak Pasukan Demokrat Suriah (SDF) untuk memutuskan afiliasinya dengan Amerika Serikat.
"Sejak serangan Turki Oktober 2019 ke timur laut Suriah, SDF telah beralih ke Rusia dan rezim Suriah untuk perlindungan terhadap Turki dan pasukan yang berpihak pada Turki," kata laporan itu seperti dikutip dari United Press International, Jumat (7/8).
Sebagai bagian negara NATO sejak 1952, Turki telah menepis kritik atas sejumlah tindakannya. Yakni, pelanggaran embargo senjata di Libya, klaim sumber daya energi di Laut Mediterania, permusuhan terhadap Israel, dan pembelian sistem pertahanan udara buatan Rusia. "Semakin sulit menggambarkan Turki sebagai sekutu AS," kata Penasehat Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat, Philip H Gordon.