REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Zuhud menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat untuk kepentingan akhirat.
Imam Al Ghazali dalam "Ikhtisar Ihya Ulumiddin mengatakan zuhud memiliki tiga tingkatan.
Pertama berupaya keras untuk zuhud terhadap dunia dan berjuang meninggalkan hawa nafsu beserta hasrat dan keinginannya. Orang disebut 'mutazahhid' (bersusaha payah untuk zuhud). "Jika terus-menerus mengupayakannya, dia akan sampai ke tingkat zuhud," katanya.
Kedua, zuhud terhadap dunia dengan sukarela karena menganggap rendah dunia bila dibandingkan dengan apa yang diinginkannya. Seperti orang meninggalkan satu dirham, demi mendapat dua dirham. Hal ini tidaklah sulit baginya. Tetapi dia tidak bisa lepas dari memandang apa yang dia tinggalkan dan memandang keadaan dirinya.
"Upaya seperti ini juga masih terdapat kekurangan," katanya.
Ketiga, berlaku zuhud dengan senang hati, bahkan zuhud terhadap kezuhudannya sendiri. Hal itu karena ia tidak merasa meninggalkan sesuatu karena dia tahu bahwa dunia tidak berarti baginya. Seperti orang yang tidak mengambil tembikar dan memilih mutiara. Dia tidak elihatnya sebagai pertentangan titik karena dunia tidak ada hubungannya sama sekali dengan akhirat.
Abu Yazid ra. Pernah bertanya kepada Abu Musa Abdur Rahman, "engkau berbicara tentang apa?" Abu Musa menjawab, "masalah Zuhud."
"Zuhud terhadap apa?" Tanya Abu Yazid. "Zuhud terhadap dunia." Katanya. Kemudian Abu Yazid mengibaskan tangannya dan berkata, "Aku kira dia sedang menerangkan sesuatu dari dunia yang tidak berarti dan dia zuhud terhadapnya."
Imam Al-Ghazali mengatakan perumpamaan orang yang meninggalkan dunia demi akhirat menurut ahli makrifat dan para waliyullah yang sering mengalami 'musyahadah dan mukasyafah' bagaikan orang yang dihalang-halangi anjing untuk melewati pintu kerajaan lalu melempar secuil roti. Kemudian anjing itu asyik dengannya lantas dia bisa masuk dan berdekatan dengan sang raja hingga seluruh urusan kerajaan diserahkan kepadanya.
Tidakkah engkau melihat, orang seperti itu memandang dirinya sebagai tangan kanan Raja berkat secuil roti yang dia lemparkan ke anjing milik sang raja demi mendapatkan apa yang dia inginkan?! Jadi setan ibarat anjing yang menunggu di dekat pintu Allah sang Maha Raja dan mencegah manusia dari memasuki pintunya padahal pintu itu terbuka lebar dan tabir penghalangnya telah tersingkap.
Adapun dunia bagaikan secuil roti titik yang apabila engkau makan, kenikmatannya hanya sebentar dan hilang sesaat setelah ditelan, kemudian terasa berat di perut dan berakhir jadi kotoran sehingga harus dikeluarkan.
"Barangsiapa sudah meninggalkan dunia demi meraih kedekatan dengan Allah, Bagaimana mungkin dia akan menoleh kepadanya?" Katanya.
Padahal kata Ghazali, dunia dalam artian sebagiannya yang setiap orang selamat darinya jika dikaitkan dengan akhirat, justru lebih sedikit, nilainya ketimbang secuil roti bila dibandingkan dengan kerajaan dunia. Hal itu karena sesuatu yang fana tidak bisa dikaitkan dengan suatu yang abadi.
"Dunia sebentar lagi akan berakhir meski ditangguhkan satu juta tahun yang bersih dari polusi pada akhirnya akan berjuang pada ketiadaan," katanya.
"Setelah engkau memahaminya, ketahuilah bahwa tingkatan zuhud yang paling tinggi adalah terhadap sesuatu selain Allah demi mengerjakan keridhaan-nya." katanya.
Hal itu bisa dicapai dengan mendalami seluk beluk zuhud dan ketinggian tingkatannya. Maka dari itu kata Ghazali janganlah engkau mengambil dari makanan, pakaian, pernikahan tempat tinggal dan apa saja yang kau perlukan, kecuali sebentar kebutuhan yang bisa menegakkan tubuh dan membuatmu bertahan menyambung nyawa.
"Inilah zuhud yang sejati wallahualam. "