REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mukti menjelaskan, status pengungsi Rohingya belum jelas sehingga Indonesia perlu ambil sikap politik secara internasional.
Hal ini mengingat sebelum-sebelumnya terdapat pula pengungsi Rohingya yang ada di wilayah lainnya di Indonesia.
Dalam rentan waktu yang lama, kata dia, para pengungsi itu pun jumlahnya cukup banyak dan pada akhirnya memiliki masalah dengan masyarakat setempat.
“Selama ini belum jelas apa statusnya. Apakah mereka pengungsi atau apa? Belum lagi muncul masalah baru karena mereka para pengungsi itu malah bermasalah dengan masyarakat,” ujarnya, Senin (29/6).
Solidaritas umat dan bangsa Indonesia untuk para pengungsi Rohingya jelas sangat diperlukan. Baginya, hal itu adalah panggilan iman dan kemanusiaan.
Namun ia juga menggarisbawahi bahwa sampai kapan kiranya bantuan pengungsian itu dapat dilakukan Indonesia mengingat permasalahan dan kewajiban di dalam negeri pun belum seluruhnya tertangani pemerintah.
Menurutnya, apabila penegasan status warga Rohingya itu adalah pengungsi, maka mereka adalah kewajiban pemerintah dan UNCHR. Namun jika mereka bukan dikategorikan sebagai pengungsi, dia menilai, status mereka yang tidak jelas itu akan menimbulkan masalah baru.
Untuk itu dia menegaskan, Indonesia perlu bersikap secara politik melalui Assosiation of Southest Asian Nation (ASEAN) dan Persatuan Bangsa Bangsa (PBB). Hal itu agar Pemerintah Myanmar dapat menghentikan semua diskriminasi dan kekerasan terhadap etnis Rohingya.
“Indonesia harus tegas. Jalan kemanusiaan yang selama ini ditempuh ternyata tidak cukup kuat untuk mempengaruhi sikap politik Pemerintah Myanmar,” ujarnya.
Atas dasar kemanusiaan itu pula, dia mengatakan bahwa Muhammadiyah mengusulkan kemungkinan para pengungsi Rohingya untuk ditampung di pulau khusus. Hal itu sebagaimana yang pernah dilakukan untuk Pengungsi Vietnam dan Irak. Muhammadiyah yang tergabung dalam Aliansi Kemanusiaan Indonesia untuk Myanmar (AKIM) pun telah banyak membantu etnis Rohingya.