REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Alumni Libya Indonesia (IKALI) mengeluarkan tiga butir pernyataan sikap dalam upaya merespon Rancangan Undang-Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP) dan kuatnya arus penolakan dari masyarakat.
"Sebagai bentuk komitmen menjaga Pancasila yang merupakan dasar falsafah Negara, kami ikut menolak RUU HIP yang saat ini sedang ditunda pembahasannya oleh wakil rakyat kita di Senayan. Sekaligus memohon dengan segala hormat kepada segenap pimpinan, anggota DPR RI dan Fraksi-Fraksi Partai Politik agar segera membatalkan dan mencabut RUU HIP tersebut dari Program Legislasi Nasional (Proglenas)," isi pernyataan sikap yang ditandatangani oleh Imron Baehaqi sebagai Ketua Umum, Ahmad Fihri sebagai Sekretaris Umum, dan Aunur Rofiq Shaleh Tamhid, Lc sebagai Ketua I Dewan Pembina Ikatan Alumni Libya Indonesia (IKALI).
Adapun tiga butir pernyataan sikap tersebut adalah sebagai berikut ini. Pertama, mengapresiasi dan mendukung penuh maklumat dan pernyataan sikap yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) dan Lembaga Ormas lainnya yang secara tegas dan bernas menyatakan penolakan dan pembatalan Rancangan Undang-Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP).
Kedua, mendesak dengan segala hormat kepada segenap pimpinan, anggota DPR RI dan Fraksi-Fraksi Partai Politik agar segera membatalkan dan mencabut RUU HIP tersebut dari Program Legislasi Nasional (Proglenas) demi menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kemaslahatan bersama.
Ketiga, mengajak kepada semua lapisan masyarakat, khususnya umat Islam di seluruh tanah air supaya merapatkan barisan untuk bersinergi dengan elemen anak bangsa lainnya dalam upaya menjaga dan mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan falsafah Negara Indonesia dari segala bentuk ancaman, seperti paham sekularisme dan komunisme.
Pernyataan sikap ini menjadi bagian upaya menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kemaslahatan bersama. Pasalnya, polemik ideologis dasar negara ini sudah berakhir dengan akal dan budi luhur yang ditunjukkan oleh para pendiri bangsa.
Sebabnya, bukan masanya lagi untuk membuka kembali polemik idiologi Pancasila, apalagi berusaha untuk mereduksi dan mendistorsi nilai-nilai yang terkandung dalamnya. Hal penting dan substantif yang seharusnya disadari oleh setiap warga, khususnya para pemimpin yang diberikan amanah mengelola negara ini adalah konsistensinya dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 45 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Mengisi negara yang sudah dibangun ini dengan peran-peran konkrit bagi kemajuan dan kemaslahatan negeri ini. Dalam pidatonya, Wapres Ma’ruf Amin sering menyebut Pancasila sebagai Darul Mitsaq (rumah Perjanjian), bahwa dalam rangka menjaga keutuhan bangsa ini, maka kita harus membangun dan menjaga kesepakatan itu.
Di Muhammadiyah, Pancasila merupakan ideologi negara yang disebut “Darul ‘Ahdi Wasy Syahadah.” Ahdi itu berarti konsensus bersama para pendiri bangsa dari berbagai unsur yang mewakilinya. Sedangkan Syahadah bermakna referensi, teladan, tempat umat Islam mengekpresikan, menjalankan ajaran Islam dan harus berlomba dengan pemeluk agama lain dalam membangun dan mengisi Negeri ini dengan segala kontribusi dan perannya.