REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Panggilan reformasi Islam muncul seiring kebangkitan aksi terorisme bermodus Islam. Tapi Muslim disebut tak butuh sosok seperti Martin Luther, melainkan rekonsiliasi Islam dengan konstitusi negara.
Konsulat Jenderal Inggris di Mesir, Lord Cromer, pernah mengungkapkan hubungan Islam dengan perubahan. Menurutnya, Islam adalah suatu fundamental yang tak bisa direformasi. "Islam yang direformasi tak lagi disebut Islam," kata Cromer dilansir dari Qantara.de pada Kamis, (18/6).
Filsuf Iran, Abdolkarim Sorush menekankan soal reformasi Islam kontemporer. Menurutnya, tak ada satu versi Islam yang absolut untuk bisa diterapkan di semua era dan konteks.
"Nabi Muhammad SAW ibarat sumber sungai, tradisi Islam jadi aliran sungai yang mengalir ke keabadian. Kami hanya bagian dari sungai, generasi berikutnya jadi bagian sungai yang lain. Kita tak bisa menganggap agama itu aliran air yang diam karena terus bergerak," ujar Sorush.
Setiap serangan teroris oleh Islam fanatik di dunia ini diikuti isu reformasi Islam. Ini patut dipahami entah sebagai realistis atau diinginkan. Sebab belum jelas bagaimana reformasi itu dijalankan dan siapa yang menjalankannya.
"Alquran bisa dibaca dengan banyak cara. Pluralitas ini kunci kebutuhan reformasi," tulis pengamat Islam asal Jerman Loay Mudhoon.
Mudhoon menyebut isu reformasi Islam di negara mayoritas Muslim sulit dilakukan karena ada konflik internal atau perang proxy.
Menurutnya, ada harapan reformasi Islam terjadi di Eropa. Muslim Eropa punya kesempatan reformasi tanpa takut represif.
"Islam tentu saja tidak butuh Martin Luther! Islam perlu rekonsiliasi standar etika dengan apa yang bisa didapat dan kenyataan dari konstitusi negara modern," tulis Mudhoon.
"Tugas pemikir Islam membangun konsep untuk solusi integratif dan membaca Islam yang dapat bekerja di sistem demokrasi," tulis Mudhoon.
Sumber: https://en.qantara.de/content/the-reform-islam-debate-islam-doesnt-need-a-martin-luther