REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Nabi Muhammad SAW memiliki pembantu. Dia bukan Muslim, melainkan seorang anak laki-laki Yahudi.
Ahmad Zarkasih, Lc, dalam bukunya berjudul "Manusia Yang Tidak Seperti Manusia" menjelaskan kisah anak tersebut dan bagaimana dia masuk Islam.
Suatu ketika, anak tersebut sakit sehingga tidak bisa masuk kerja. Nabi SAW pun menjenguknya dengan mengunjungi rumah anak Yahudi itu. Di rumah tersebut, ternyata ada ayah si anak yang juga penganut Yahudi.
Rasulullah kemudian meminta izin untuk mendekati anaknya. Rasul mengajaknya masuk Islam. Mendengar hal itu, si anak itu bingung karena ada ayah di dekatnya. Dia melirik ke ayahnya dan kemudian ke Nabi SAW.
Lantas, sang ayah menyampaikan kepada anaknya untuk menaati apa yang dikatakan Rasulullah SAW. "Anakku, taati Abu Qasim (Muhammad)!" Mendapat izin dari ayahnya, anak itu bersyahadat. Kemudian Nabi SAW keluar dari rumah lalu mengucapkan, "Alhamdulillah, Allah SWT telah menyelamatkan anak itu dari neraka dengan wasilahku."
Zarkasih memaparkan, cerita itu ada di dalam hadits yang termaktub dalam Shahih al-Bukhari dari jalur Anas bin Malik ini.
Lebih lanjut, Zarkasih menjelaskan, agama adalah identitas setiap diri. Siapapun pasti akan membela agamanya jika dihina, dan pasti akan marah jika disuruh untuk meninggalkan agama nenek moyangnya.
"Tetapi lihat bagaimana relanya sang ayah yang seorang Yahudi membiarkan anaknya melepaskan agama dan kepercayaan nenek moyangnya hanya karena seorang Muhammad SAW," jelas Zarkasih.
Dia menambahkan, jika Nabi SAW bergaul dengan orang non-Muslim secara keras dan bengis, asal hantam, mulut kotor doyan mencaci, lantas apakah mau seorang Yahudi membiarkan anaknya mengikuti Nabi Muhammad SAW? Zarkasih mengatakan tentu hal itu tidak mungkin.
"Itu bukti nyata bagi kita yang mengaku cinta dan mengikuti Nabi SAW bahwa apa yang dilakukan Nabi SAW dalam menyampaikan agama ini bukan dengan caci maki, prasangka, dusta, kebencian," tutur dia.
Zarkasih memaparkan, Nabi SAW menyampaikan agama ini dengan cinta dan kasih sayang. "Karena memang tujuan dakwah ini adalah mengajak orang lain menuju kepada Sang Mahacinta dan Mahasayang. Bagaimana bisa mengajak kepada cinta tetapi dengan kebencian?" katanya.
Dalam syariat ini, terang Zarkasih, sudah sangat jelas bahwa tidak ada larangan bagi kaum Muslim untuk berbuat baik kepada non-Muslim, dalam bertetangga, bergaul dan bersahabat, selama memang non-Muslim itu tidak mengajak kepada kemaksiatan atau juga tidak melarang beribadah.
Sebagaimana disebutkan dalam Alquran surat al-Mumtahanah ayat 8-9:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
إِنَّمَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ قَاتَلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَأَخْرَجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ وَظَاهَرُوا عَلَىٰ إِخْرَاجِكُمْ أَنْ تَوَلَّوْهُمْ ۚ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
"Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim."