REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Din Syamsuddin mengatakan, Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) hanya menurunkan derajat Pancasila. Kajian undang-undang itu pun dinilai hanyalah bentuk memonopoli penafsiran Pancasila yang merupakan kesepakatan dan milik bersama.
"Untuk diatur dengan Undang-Undang, itu sama saja memeras Pancasila ke dalam pikiran-pikiran yang menyimpang," kata Din dalam pesan singkat kepada Republika, Sabtu (13/6).
Menurutnya, pendekatan menurunkan derajat (downgrading), menyempitkan arti (reduksionis), dan memonopoli Pancasila adalah berbahaya bagi eksistensi NKRI yang berdasarkan Pancasila. Dia pun meminta Presiden Joko Widodo untuk menghentikan pembahasan RUU HIP tersebut karena akan memecah belah bangsa.
Selain itu ia juga menilai bahwa pembahasan sejumlah RUU di tengah keprihatinan nasional akibat Covid-19 adalah sebuah tindakan yang tidak arif dan bijaksana. Terlebih pembahasan itu cenderung dilakukan secara diam-diam dengan menutup aspirasi dari masyarakat madani.
"Praktik demikian merupakan hambatan terhadap pembangunan demokrasi Pancasila yg berkualitas yang kita cita-citalan bersama," ungkapnya.
Sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI, dia mengaku dapat memahami dan menyetujui pikiran dalam Pernyatan Dewan Pimpinan MUI Pusat yg didukung oleh Dewan Pimpinan MUI Provinsi seluruh Indonesia tentang penolakan terhadap RUU HIP. Sebab pandangan itu mengungkapkan aspirasi rakyat Indonesia.
"Seyogyanya pemerintah dan DPR memperhatikan hal ini," kata dia.
Salah satu yang menjadi perhatian dalam pembahasan RUU HIP adalah tidak dicantumkannya TAP MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas mengkhawatirkan bahwa tidak dicantumkannya TAP MPRS tersebut dapat memicu kebangkitan PKI. Tak hanya itu, pengabaian fakta sejarah dalam pembahasan RUU merupakan sebuah tindakan yang memilukan bangsa.
Sebelumnya, Sementara, RUU HIP disebut sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Hal itu dinilai perlu untuk menerapkan kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan, dan keamanan.
Terkait fungsinya, RUU HIP diperlukan sebagai kerangka landasan berpikir dan bertindak bagi penyelenggara negara dan masyarakat. RUU tersebut diharapkan dapat mencapai tujuan negara Indonesia yang merdeka, bersatu, dan berdaulat dalam tata masyarakat adil dan makmur.
"Serta memberikan arah bagi masyarakat untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari," ujar anggota Baleg Fraksi Partai Nasdem, Taufik Basari.
Ia ingin agar Pancasila tak menjadi alat represi untuk rakyat. Jika Pancasila dijadikan alat represi kepada rakyat, ia takut bahwa ideologi ini akan dipandang negatif. Ia tak ingin hal tersebut terjadi lagi, yang mana Pancasila dimanfaatkan oleh oknum tertentu demi kepentingan pribadi.
"Tujuan dari RUU HIP adalah agar terdapat panduan bagi penyelenggara negara untuk melaksanakan pembangunan dan menjalankan pemerintah berdasarkan Pancasila," ujar Taufik.