REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebagai mitra pemerintah dalam menyampaikan fatwa serta nasihat (shodiqul hukumah), Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyoroti beberapa poin mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang dibahas oleh DPR. Diharapkan, kajian mengenai RUU tersebut dapat dijalankan dengan mengakomodasi nilai-nilai yang sejalan dengan kepentingan rakyat, HAM, dan demokrasi.
Melalui surat edaran yang ditandatangani Wakil Ketua Umum serta Sekretaris Jenderalnya, MUI mengingatkan kembali bahwa dalam pembahasan substansi RUU Cipta Kerja, hendaknya DPR dan pemerintah juga mengakomodasi paham demokrasi, HAM, hak-hak warga negara, dan kelompok/lembaga yang menjadi objek RUU tersebut.
"Serta mematuhi peraturan pembentukan perundang-undangan, " kata Sekjen MUI Anwar Abbas dalam poin surat edaran tersebut.
Indonesia negara yang berdasarkan Pancasila, kata dia, kedaulatannya berada di tangan rakyat sebab Indonesia adalah negara hukum sebagaimana ditegaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebagai konsekuensi logis dari hal itu, lanjutnya, maka setiap kebijakan, peraturan perundang-undangan yang dibentuk harus mengacu dan berdasarkan pada Pancasila, UUD 1945, dan prinsip-prinsip sebagai negara hukum.
Atas dasar pemikiran tersebut maka RUU Cipta kerja yang saat ini tengah dibahas di DPR dinilai harus diarahkan dalam rangka mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur lahir dan batin yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Menurutnya, MUI Pusat dapat memahami kebijakan pemerintah untuk mengajukan RUU Cipta Kerja ini ke DPR. MUI Pusat memahami bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja oleh DPR bersama pemerintah merupakan domain kewenangan konstitusional di bidang legislasi yang dimiliki kedua lembaga negara tersebut.
Namun seiring dengan itu, DPR dan pemerintah perlu mencermati dan mempertimbangkan secara serius dan mendalam berbagai pendapat, pemikiran dan tanggapan yang berkembang di masyarakat mengenai RUU Cipta Kerja ini.
"Selain muncul berbagai dukungan, juga timbul kritik, keberatan, bahkan penolakan terhadap RUU Cipta Kerja. Baik untuk materi tertentu, pasal tertentu, klaster tertentu, maupun untuk keseluruhan RUU," ujarnya.
Dia melanjutkan, MUI Pusat pun mendorong DPR dan pemerintah mempertimbangkan berbagai tanggapan pro kontra tersebut untuk menjadi bagian penting saat membahas RUU Cipta Kerja.
Pemahaman keseluruhan aspek itu itu penting ditempuh DPR dan pemerintah agar aspirasi rakyat tersalurkan dengan sebaik-baiknya dan tertampung dalam RUU Cipta Kerja ini. Dengan demikian kelak diharapkan ketika disahkan menjadi UU, maka UU Cipta Kerja nantinya dapat memenuhi rasa keadilan rakyat, sesuai kebutuhan penyelenggaraan negara, dan mendorong kemajuan pembangunan nasional serta dapat diterapkan secara optimal oleh pemerintah dan bangsa.
Di sisi lain dia menjelaskan, RUU Cipta Kerja ini juga memuat pengaturan yang terkait erat dengan ajaran Islam dankepentingan umat Islam. Antara lain dalam materi pengaturan halal, perijinan halal terhadap UMKM, dan perbankan syariah.
Terkait dengan ini, kata dia, MUI Pusat menyampaikan sikap kiranya pembahasan tersebut hendaknya memperhatikan aspek internum kepentingan dan keyakinan umat
Islam yang secara hukum tidak boleh dikurangi oleh negara sebagaimana telah dijamin dalam Pasal 28E ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28I dan Pasal 29 UUD 1945 serta UU 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Untuk itu, dia menilai bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja yang memuat di dalamnya aturan mengenai kepentingan umat Islam perlu disoroti serta diberikan beberapa catatan penting.
Sebelumnya, Staf Khusus Wakil Presiden Ma'ruf Amin Bidang Komunikasi dan Informasi, Masduki Baidlowi menyatakan, tiap ormas Islam punya kesempatan untuk bicara di DPR terkait Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja). Apalagi, dalam draf tersebut, Ormas Islam dilibatkan untuk menetapkan kehalalan suatu produk.
"Itu akan dibicarakan di DPR, karena sekarang draf Omnibus Law dari pemerintah itu sudah disetorkan ke DPR. Maka tiap ormas Islam, MUI, dan segala macamnya itu karena punya pandangan yang berbeda-beda nanti akan diberikan kesempatan di DPR untuk bicara," kata dia, di kantor MUI Pusat, Jakarta, Selasa (18/2).
Masduki mengatakan, pemerintah tentu berharap, Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah melewati berbagai proses kompromi sebelum disahkan menjadi UU. Melalui kompromi itu pula, dia berharap ada titik temu atas perbedaan pandangan di kalangan ormas Islam soal aturan penetapan fatwa halal suatu produk.
"Yang penting nanti kita berharap bahwa ujung dari keputusan rapat yang menghasilkan Omnibus Law sebagai UU itu sudah mengkompromikan banyak hal sehingga ada titik temu," ucap dia.
Sementara, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengatakan ormas-ormas Islam akan dilibatkan untuk menetapkan kehalalan produk sebagai upaya percepatan pelaksanaan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Hal ini diatur dalam rancangan Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja.
"Oleh karena itu kita akan meminta juga masukan dari berbagai masyarakat, para ulama. Karena ini menuai pro dan kontra," ujar Dasco di Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (19/2).