REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI – Pemerintah India telah mengeluarkan keputusan untuk tidak memberi visa apa pun pada 2.550 jamaah yang ikut serta pada kegiatan Jamaah Tabligh di India Maret lalu. Pasalnya, pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi itu mengeklaim sebanyak 50-60 persen kasus Covid-19 di sebagian besar negara bagian India disebabkan penyebaran oleh jamaah tersebut.
Dikutip Sputniknews, Jumat (5/6), larangan tersebut akan diberlakukan selama 10 tahun mendatang. Dengan demikian, larangan total untuk bepergian ke negara itu menjadi konsekuensi jamaah yang diklaim pemerintah sebagai pusat penyebaran.
Anggapan itu juga didukung kepolisian India. Menurut mereka, acara yang juga dihadiri ratusan warga Muslim India itu dilakukan di masjid daerah Nizamuddin yang berpenduduk padat di Delhi.
Menurut pejabat pemerintah, sekitar 820 orang asing yang ambil bagian sebagai jamaah dalam acara itu bubar ke berbagai negara bagian India. Sementara itu, sekitar 2.300 orang lainnya tetap tinggal, termasuk 250 warga negara asing di daerah Nizamuddin, New Delhi.
Terkait jumlah jamaah itu, Wakil Kepala Manish Sisodia Delhi mengatakan, dari banyaknya jamaah itu ada yang terpapar Covid-19 sekitar 617 dari 2.300 orang dan telah dirawat di rumah sakit. Sementara itu, sisanya dikarantina.
Larangan masuk bagi ribuan Muslim itu nyatanya dianggap serupa dengan keputusan Kementerian Dalam Negeri (MHA) India, yang memasukkan 960 warga asing ke dalam daftar hitam karena melanggar norma-norma visa. Mereka memasuki negara itu dengan visa turis, sementara kedatangannya merupakan partisipasi dalam ajang religi pada April lalu.