Jumat 05 Jun 2020 03:31 WIB
Islam

Islam dan Masalah Pemakzulan Pemimpin

Bagaimana masalah pemakzulan pemimpin dalam Islam?

Suasana peradilam zaman Ottoman.
Foto:

Mengkaji pemikiran politik Islam, sejatinya sulit menemukan pemikiran yang berbicara tentang mekanisme pemberhentian (pemakzulan) pemimpin. Yang banyak dikaji justru berkenaan dengan kemungkinan-kemungkinan yang menyebabkan pemimpin dapat dimakzulkan. Ini menunjukkan adanya konsistensi pemikiran politik Islam bahwa Islam tak mempuyai konsep politik yang baku, termasuk dalam hal pemakzulan pemimpin.

Sebab pemimpin dimakzulkan ada yang bersifat standar dan generik, seperti lemah fisik dan mental, kehilangan organ-organ tubuh lainnya terlebih panca indra, sebab ditawan oleh musuh. Namun ada sebab yang bersifat syar’i yang menyebabkan pemimpin pantas dimakzulkan. Misalnya karena sebab menyimpang dari ketentuan syariat, tak mampu berbuat adil, fasik, dan fâjir. Pemimpin yang melakukan ini semua, pemakzulannya menjadi dimungkinkan.

Sebaliknya, kalau mendapati pemimpin yang mampu menjadikan kekuasaan yang dipegangnya untuk menegakkan keadilan, kebijakan yang dibuatnya pro syariat, mampu melaksanakan dan menjamin hak-hak Allah, karena sejatinya fungsi kepemimpinan dalam Islam adalah menghimpun hak-hak umum yang bersifat integral antara hak Allah dan hak rakyat untuk mewujudkan maslahat al-ammah, maka tak ada alasan untuk memakzulkannya. Sebaliknya, harus didukung dan ditaatinya.

Bagaimana jika terdapat pemimpin yang sebelumnya terlah berbuat fasik, mengingkari syariat, berlaku tak adil kemudian mencoba untuk berbuat adil? Menurut al-Mawardi dalam al-ahkam al-shuthaniyyah, pemimpin tersebut tetap tidak boleh menjalankan kepemimpinannya kecuali dengan kontrak sosial yang baru.

Bagaimana Indonesia?

Setiap negara dalam konstitusinya dipastikan didapati ketentuan yang mengatur pemakzulan pemimpin. Tak terkecuali konstitusi kita, UUD 1945. UUD 1945 Pasal 7A dan 7B Ayat 1 - 6 mengatur pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Pasal-pasal dan ayat-ayat ini menyebutkan bahwa untuk memakzulkan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus ada bukti pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden. Kalau didapati ada bukti pelanggaran hukum, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) –dengan dukungan 2/3 anggota DPR– untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melanggar hukum.

Disebutkan pula, bila MK memutuskan Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melanggar hukum dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Ayat ini mensyaratkan MK harus memutuskan bahwa pendapat DPR membuktikan Presiden dan/atau Wakil Presiden bersalah. Kalau tidak terbukti, maka proses pemakzulan tidak bakal berlanjut ke MPR.

Disebutkan juga bahwa MPR wajib melaksanakan sidang paripurna untuk memutuskan usul DPR tersebut paling lambat 30 hari sejak MPR menerima usul tersebut yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna.

Kalau membaca keseluruhan isi pasal-pasal dan ayat-ayat di atas, memakzulkan Presiden itu bukan perkara mudah, untuk tidak mengatakan mustahil dilakukan konteks saat ini. Bahwa kalau mengkritisi kebijakan-kebijakan Presiden, tentu dengan mengacu para aturan perundang-undangan yang ada, secara politik bisa saja Presiden dinilai melanggar hukum, baik berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, namun untuk proses politik selanjutnya di DPR dan MPR, belum lagi proses hukumnya di MK, nyaris mustahil pemakzulan dapat dilakukan.

Konstelasi politik di DPR dan tentunya juga di MPR, di mana kekuatan fraksi pendukung Presiden tampil sangat dominan, maka hampir mustahil dapat menyeret Presiden ke meja pemakzulan.

Dengan realitas politik ini, rezim yang berkuasa dan pendukungnya tidak usah alergi atau sensitif, apalagi intimidatif dan ngamuk-ngamuk atas perbincangan atau wacana pemakzulan yang dilontarkan beberapa pihak. Hal yang wajar membincang atau mewacanakan pemakzulan Presiden. Selain konstitusional karena memang tertera di dalam konstitusi, secara politik masyarakat pun berhak menilai Presidennya, termasuk menilai pantas atau tidaknya untuk dimakzulkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement