Jumat 05 Jun 2020 03:31 WIB
Islam

Islam dan Masalah Pemakzulan Pemimpin

Bagaimana masalah pemakzulan pemimpin dalam Islam?

Suasana peradilam zaman Ottoman.
Foto:

Islam tak menawarkan konsep baku dalam masalah kepemimpinan politik. Hal ini sudah jamak di kalangan pemikir politik Islam klasik, pertengahan maupun kontemporer. Tak adanya konsep baku ini dilandasi oleh kenyataan historis terkait suksesi kepemimpinan dalam tradisi kepemimpinan Islam. Di era khulafâ’ al-rasyidîn misalnya, dari empat suksesi kepemimpinan tak ada (digunakan) konsep baku.

Suksesi dari Rasul Muhammad saw. ke Abu Bakar dilakukan lewat mekanisme “bay’ah terbatas” (sebagaian menyebutnya ahl al-halli wa al-aqd). Dari Abu Bakar ke Umar bin Khattab memakai mekanisme “penunjukkan langsung” oleh Abu Bakar. Dari Umar bin Khattab ke Usman bin Affan memakai mekanisme ahl al-halli wa al-aqd. Dari Usman bin Affan ke Ali bin Abi Thalib dilangsungkan dengan mekanisme “bay’ah umum”. Selebihnya, suksesi kepemimpinan yang digunakan di era khilafah-khilafah sesudahnya menganut sistem mamlakah (kerajaan) dengan model turun temurun.

Islam hanya mengatur prinsip-prinsip dasar kepemimpinan saja. Dalam konteks ini nyaris tak ada perbedaan berarti di antara para pemikir politik Islam. Terkait persyaratan pemimpin misalnya, hampir kebanyakan pemikir politik Islam bersepakat bahwa syarat menjadi pemimpin harus berilmu pengetahuan luas (al-Baqilani, al-baghdadi, al-Mawardi, al-Juwaini, al-Ghozali, Ibnu Khaldun).

Kebanyakan pemikir juga bersepakat bahwa pemimpin harus mampu bersikap adil, mempunyai kemampuan leadership, sanggup mengelola dan bersedia bermusyawarah sehingga terhindar untuk memimpin dengan sewenang-wenang atau al-Ghozali dan Ibnu Khaldun menyebutnya dengan al-kifâyat. Pemimpin juga harus berintegritas (amanah) dan berbudi pekerti luhur (wara’). Berbadan sehat, dengan penekanan pada sehat penglihatan, pendengaran, dan lisan.

Secara prinsip, dalam hal-hal yang bersifat fundamental terkait masalah kepemimpinan, para pemikir Islam bersepakat. Mereka hanya berbeda pada pernik-perniknya saja, seperti keharusan pemimpin dari suku Quraisy, ahlul bait atau cukup orang Arab, pemimpin harus kaya secara materi, dan laki-laki.

Belakangan, banyak pemikir politik Islam kontemporer yang mentolerir perempuan menjadi pemimpin. Dalam al-Sunnah al-Nabawiyyah: Baina al-Fiqh wa ahl al-Hadits, Muhammad al-Ghazali, mantan aktivis Ikhwanul Muslimin misalnya menolak kalau persyaratan menjadi pemimpin ditentukan oleh jenis kelamin. Terpenting menurutnya adalah yang paling memiliki kemampuan di antara umat. Al-Ghazali mencontohkan pengangkatan asy-Syafa (perempuan) sebagai pengawas keuangan di pasar Kota Madinah oleh Umar bin Khattab.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement