Republika.co.id --- Oleh: Hajriyanto Y. Thohari, Ketua PP Muhammadiyah*
Tanpa pengkaderan sebuah organisasi atau gerakan akan ambyar seiring berjalannya waktu. Pengkaderan (sebenarnya yang tepat pengaderan) adalah upaya untuk mencetak kader-kader sebanyak dan sebaik mungkin demi keberlangsungan sebuah gerakan untuk mencapai tujuan dan cita-cita (ideologi)-nya. Kader (cadre) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah orang yang diharapkan di masa depan akan memegang peranan penting dalam sebuah organisasi atau gerakan (movement, harakah).
Dulu waktu menjadi Ketua PW Pemuda Muhammadiyah Jawa Tengah (1989-1993) dan masih senang-senangnya melakukan training pengkaderan ke berbagai daerah dan cabang, saya selalu mencontohkan keluarga Haji Hasyim sebagai keluarga ideal pengkaderan Muhammadiyah. Pasalnya, semua anak-anak Haji Hasyim berhasil menjadi pemimpin-pemimpin utama Muhammadiyah yang luar biasa perannya pada masa-masa formasi Muhammadiyah.
Haji Hasyim Ismail yang saya maksudkan adalah seorang Abdi Dalem Putihan (pejabat) Agama Islam di Keraton Yogyakarta, dengan pangkat Lurah Keraton Yogyakarta. Oleh karena itulah panggilan populernya Raden Kaji Lurah Hasyim.
Haji Hasyim rupanya bertetangga rumah dengan KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, ketika masih sugeng, di bilangan Kauman di sebelah Barat keraton Yogyakarta. Kebetulan kedua keluarga ini sama-sama priyayi atau bangsawan Jawa yang menjabat abdi dalem Keraton. Lebih daripada itu, ini yang penting: Haji Hasyim adalah pendukung protagonis gagasan pembaharuan Dahlan.
Begitu protagonisnya, Raden Kaji Lurah Hasyim menyerahkan sepenuhnya pendidikan putra-putrinya (sebelas atau delapan jumlahnya, saya tidak tahu pasti) kepada Ahmad Dahlan. Hebatnya adalah ke delapan orang itu kelak menjadi kader-kader pejuang Muhammadiyah dan Aisyiyah kelas satu yang nyaris tiada tolok bandingnya! Marilah kita lihat bersama “pohon pengkaderan” yang ajaib laksana Syajaratu al-Kaun (The Tree of Being) karya Ibnu Arabi yang terkenal ini.
Delapan (atau sebelas) yang besar
Ke delapan putra-putri Haji Hasyim tersebut secara berurutan adalah sebagai berikut: pertama, Siti Djazimah, Muhammad Soedjak (kemudian belakangan menjadi ketua PKO: Penolong Kesengsaraan Oemat), Haji Fachrodin (Wakil Ketua Hoofbestur atau HB Muhammadiyah), Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Hoofbestur atau HB Muhammadiyah), Haji Zaini, Siti Moendjijah (Ketua Aisyiyah), Siti Bariyah (Ketua Aisyiyah pertama), dan Siti Walidah (berbeda dengan Walidah yang isteri Ahmad Dahlan).
Ke delapan putra-putri Haji Hasyim itulah yang oleh Pak A.R. Fachruddin (1916-1995, Ketua PP Muhammadiyah 1968-1995), disebut sebagai “Bani Hasyim” dalam Muhammadiyah, mirip atau setidaknya paralel dengan Bani Hasyim, trah dari mana Nabi Muhammad SAW berasal dari mana kader-kader pemimpin Islam era berikutnya berasal.
Siti Djazimah adalah aktifis Aisyiyah pertama, organisasi perempuan Muhammadiyah yang lahir pada tahun 1917. Memang beliau ini tidak pernah menjadi ketua Aisyiyah, tetapi adalah tokoh awal organisasi otonom yang pertama yang didirikan oleh Muhammadiyah.
Putra yang kedua dari Haji Hasyim adalah Haji Soedjak, yang di masa Muhammadiyah dipimpin oleh KH Ahmad Dahlan menjabat sebagai Ketua PKO, seorang yang telah berani pergi haji sendiri tanpa orang tuanya dalan usia 17 tahun. Dan justru karena karena keberaniannya inilah namanya berganti dari Daniel atau Danayel menjadi Syuja’ (dari kata Bahasa Arab: syaja’a yang artinya berani).
Adik Soedjak, anak ketiga, bernama Fachrodin (1890-1929), lebih daripada kakaknya: berani berangkat haji pada usia 14 tahun (1905). Bayangkan pada waktu itu berangkat haji adalah dengan naik kapal laut selama hampir 4 bulan! Nama Fachrodin ini juga nama dewasa: sebelumnya bernama Djazoeli. Setelah pergi menunaikan ibadah haji pada tahun 1905 namanya berganti menjadi Fachrodin yang artinya kebanggaan agama.
Fachrodin adalah seorang tokoh yang semula memasuki Boedi Oetomo (BO), tetapi karena jiwanya yang pemberani dan radikal dia merasa kurang cocok dengan BO yang sangat beraroma priyayi Jawa. Fachrodin yang pemberani dan berideologi kiri itu kemudian bersahabat dengan Mas Marco Kartodikromo dalam Syarikat Islam (SI) di Solo, dan Bersama-sama menggerakkan Inlandche Journalisten Bond (IJB). Sebagai seorang yang memandang media sangat penting dan strategis, Fachrodin bersama tokoh kiri radikal di Solo, Haji Misbach, mendirikan beberapa media yaitu surat kabar Medan Moeslimin dan Islam Bergerak.
Setelah hubungan Muhammadiyah dan SI retak, demikian juga hubungannya dengan tokoh-tokoh kiri merenggang Fachrodin Bersama Ahmad Dahlan mendirikan majalah Soewara Muchammadiyah pada usia 24 tahun! Bayangkan tokoh yang baru berumur 24 tahun mendirikan majalah yang keren seperti ini dan malah menjadi Pemimpin Redaksi pertamanya! Sepeninggal Ahmad Dahlan, Fachrodin mengakhiri keterlibatannya dalam Gerakan yang ke-kiri-kiri-an dan kemudian Kembali ke Muhammadiyah.Fachrodin terpilih dalam kepengurusan HB Muhammadiyah. Bahkan pada periode KH Ibrahim menjadi Presiden HB Muhammadiyah, Fachrodin menjadi wakil presidennya (1923-1929).
Putra Haji Hasyim yang keempat adalah Ki Bagus Hadikusumo (Ketua Hoofdbestur atau HB Muhammadiyah), seorang yang sangat disegani ketika dalam siding BPUPKI dan PPKI (1945) Ketika merumuskan dasar negara Republik Indonesia. Bahkan pemerintahan militer Jepang dalam sepanjang kekuasaannya di Indonesia pada 1942-1845 pun sangat memperhitungkan ketokohannya sehingga bersama Bung Karno dan Bung Hatta diundang untuk berkunjung ke Tokyo bertemu Kaisar.
Putra Haji Hasyim kelima adalah Haji Zaini. Tidak ada informasi yang cukup mengenai jabatan Zaini dalam kepemimpinan Muhammadiyah, tetapi Haji Zaini ini yang belakangan menurunkan cucu trio pejuang handal Muhammadiyah: Muhammad Muqaddas, Fahmi Muqaddas dan Busyro Muqaddas.
Putri keenam adalah Siti Moendjijah, singa podium perempuan dalam Kongres Perempuan Pertama tahun 1928 mewakili organisasi perempuan Muhammadiyah: Aisyiyah. Moendjijah, atau dalam ejaan sekarang Munjiyah, malah menjadi Wakil Ketua Konggres Perempuan tersebut. Beliau adalah kader Ahmad Dahlan yang juga menjadi Ketua PP Aisyiyah yang ketiga pada masa-masa awal formasi organisasi perempuan tertua di Indonesia ini.
Putri Ketujuh adalah Siti Bariyyah yang nota bene ketua Aisyiyah yang pertama. Sementara Putri ke delapan dari Haji Hasyim adalah Siti Walidah. Keempat perempuan putri Haji Hasyim tersebut adalah singa-singa podium kader-kader utama KH Ahmad Dahlan dan sekaligus peletak dasar-dasar perjuangan Gerakan perempuan Muhammadiyah. Betapa luar biasa pohon pengkaderan yang ditanamkan oleh Haji Hasyim, sang Lurah Kraton Yogyakrata yang satu ini!
Saya tidak bisa membayangkan Muhammadiyah tanpa Bani Hasyim. Sepeninggal Ahmad Dahlan (1923) putra-putri Bani Hasyim-lah yang menjadi tulang punggung Gerakan Islam modern Muhammadiyah. Sampai sekarang cucu dan cicitnya adalah aktifis-aktifis Muhammadiyah kelas satu. Untuk sekedar menyebut beberapa nama, misalnya, almarhum Djarnawi Hadikusumo (pernah Katua II PP Muhammadiyah), Afnan Hadikusumo (Ketua Umum PP Tapak Suci), keduanya putra dan cucu Ki Bagus Hadikusumo, serta Nurrahman Hajam, cucu Haji Fachrodin, yang kini aktif di Majekis Dikti PP Muhammadiyah, dan sederet nama lainnya lagi.
(Kalau nanti dipandang perlu saya akan menuliskannya sebanyak mungkin contoh Pohon Pengkaderan lagi dalam tulisan ini. Tapi kalau nanti sampai akhir tulisan ini saya pandang tidak perlu tentunya tidak akan saya tulis pada kesempatan uang lain).