Kamis 28 May 2020 04:58 WIB
Jawa

Islam di Jawa: Makhluk Halus Pelindung

Kepercayan orang Jawa kepada makhluk pelindung

Suasana slametan atau kenduri di Jawa zaman dahulu.
Foto:

Bangsa alus, memedi, gendruwo, lelembut, setanjim, tuyul, demit, danyang—barisan bocah-bocah gundul, macan putih dan ayam-ayam yang selalu nenghentakkan kakinya—memberikan kepada mereka yang percaya, serangkaian jawaban yang sudah tersedia terhadap pertanyaan- pertanyaan yang muncul dari berbagai pengalaman yang seperti teka- teki; piktografi simbolik dari imajinasi, yang dalam kerangka mana bahkan hal-hal yang ganjil tampak tak terhindarkan.

Apakah Mbak Suwami sudah sembuh dari sakit kepala yang telah dideritanya selama seminggu? Hal itu teijadi karena ketika ia pergi ke kakus, ada lelembut yang sedang duduk di sana, yang lalu menampar keningnya karena marah dan merasa terhina. Apakah Haji Abdullah setelah setahun kematian saudara dan isterinya lalu jadi kaya? Gabungan keadaan itu jelas mengisyaratkan adanya tuyul. Dunia makhluk halus adalah dunia sosial yang ditransformasikan secara simbolik, makhluk halus priyayi memerintah makhluk halus abangan, makhluk halus Cina membuka toko dan memeras penduduk asli, makhluk halus santri melewatkan waktunya dengan sembahyang dan memikirkan cara-cara mempersulit mereka yang tak beriman.

Namun, sekalipun ada kekaburan, kontradiksi serta diskontinuitas dalam kepercayaan abangan mengenai makhluk halus, kepercayaan itu juga memberikan makna yang lebih luas dan lebih umum daripada sekadar penjelasan terpisah yang biasa orang dapatkan mengenai luka yang tak tersembuhkan, fuga-fuga psikologis serta kesialan yang tak masuk akal. Semua itu melukiskan kemenangan kebudayaan atas alam dan keunggulan manusia atas bukan manusia.

Sementara kebudayaan orang Jawa berkembang dan hutan tropis yang lebat berubah menjadi tanah persawahan serta perumahan, makhluk-makhluk halus mundur ke hutan belantara yang tersisa, puncak-puncak gunung berapi dan Lautan Hindia (di mana Lara Kidul, Ratu Laut Selatan, mungkin satu-satunya lelembut Jawa yang paling berkuasa,7menunggu seseorang yang cukup bodoh dan keras kepala untuk memakai pakaian hijau di dekat rumahnya, buat ditenggelamkan ke dasar samudra).

Begitu pula, bila seseorang menjadi semakin beradab dalam pola Jawa, sedikit sekali kemungkinan ia akan kosong, bingung atau tersesat, yang menyebabkannya rawan terhadap kesurupan makhluk halus: Parto mengatakan bahwa orang yang mudah dirasuki setan dan makhluk halus sebangsanya adalah orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan, tidak pernah puasa serta tidak punya keteraturan hidup; karena jiwa orang-orang ini konon kosong dan dengan demikian mudah dimasuki setan. Orang yang kuat imannya terhadap Tuhan serta “tahu aturan” tidak akan mudah dimasuki setan, demit dan bahaya serupa lainnya yang mengancam kemaslahatan individu.

Dalam konteks ini, slametan merupakan penegasan serta penguatan kembali tata kebudayaan umum dan kekuatannya untuk menahan keku- atan-kekuatan yang mengacau. Slametan memusatkan, mengorganisasi, serta meringkas ide umum abangan tentang tata tertib, “pola hidup” mereka. Dalam bentuknya yang kurang dramatis, ia menyatakan nilai-nilai yang menjiwai kebudayaan tani Jawa tradisional; saling menyesuaikan kehendak yang bergantung satu sama lain, menahan diri dalam menyatakan perasaan dan mengatur dengan hati-hati tingkah-laku keluar.

nya.Slametan cenderung berlangsung pada momen-momen yang demikian dalam kehidupan orang Jawa, ketika kebutuhan untuk menyatakan nilai-nilai itu mencapai puncaknya serta ketika ada ancaman yang besar dari makhluk-makhluk halus dan kekacauan tak manusiawi yang mewaki

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement