Rabu 20 May 2020 11:22 WIB
Islam

Kisah Dokter Ramli Mendidik Muslim Peduli Kesehatan

Kisah dokter A Ramli, pelopor kesehatan Masyarakat yang terlupakan

Suasana Hindia Belanda saat terkena wabah pada awal 1900-an.
Foto:

Bagian paling menarik dari tulisan Ramali yang terbit tahun 1933 itu adalah ketika ia berusaha menerjemahkan doktrin Islam yang sesuai dengan prinsip higiene ke dalam praktek kehidupan sehari-

hari. Ia bercerita:

“Di malam hari selepas salat isya, ketika para warga kampung berkumpul di masjid sekitar rumahnya, membicarakan kejadian dari hari yang telah lewat, saya biasanya menerjemahkan kepada orang-orang sederhana ini aturan - aturan kebersihan berdasarkan islam – roekoen bersoetji–dan terutama melihat hubungan langsung dengan solat terakhir mereka, yakni penjelasan langsung dalam hubungannya dengan aturan - aturan higiene”, tulisnya.

Situasi yang digambarkannya mengingatkan kita pada pekerjaan para mantri-higiene yang sering berkunjung ke rumah untuk memberi pengajaran tentang hidup bersih. Dalam kasus Ramali, kuliah itu dilakukan di masjid, selepas sholat isya. Ketika berbicara kepada warga, Ramali berangkat dari sebuah hadis: at-Thahuuru syathru al-iiman (kebersihan sudah merupakan setengah dari iman).

Ia menjelaskan, ketika kita mengangkat dua telapak tangan pada permulaan shalat, lima jari di tangan kanan merupakan “setengah dari iman”, yang merupakan simbol material dari lima pilar Islam: syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji. Telapak tangan kiri, dengan kelima jarinya, merupakan “sisa setengah lainnya dari iman” yang merupakan simbol dari lima prinsip kebersihan.

bambumuda:若竹物語: 20 Mei: Drama Dokter

  • Keterangan foto: Para dokter Stovia mengabdi dengan memberikan layanan kesehatan masyarakat pribumi.

Tubuh ditambah dengan kesepuluh prinsip tadi merupakan energi spiritual yang harus berharmoni dengan kehidupan material. Atas dasar pemikiran itu, Ramali merumuskan ke lima prinsip kebersihan tadi ke dalam lima aktivitas: higiene rumah dan halamannya, higiene pakaian, higiene tubuh, kebersihan makanan dan minuman, dan kebersihan jiwa.

Empat yang pertama merupakan wujud dari prinsip kebersihan material, sedangkan yang terakhir terkait dengan kebersihan spiritual. Melalui rumusan ini, Ramali berusaha untuk mengombinasikan antara yang material dan spiritual dalam praktek higiene. Tapi, bagaimana kelima prinsip ini diterapkan? Kebersihan rumah dan halaman dilakukan dengan aktivitas mencegah berkembangnya bibit lalat, nyamuk, tikus dengan kutu kutunya yang merupakan pembawa penyakit seperti malaria, tipes dan pest.

Kemudian, dengan menjauhkan sampah busuk dan air tergenang, maka bisa diperoleh udara yang segar. Kebersihan rumah dan halaman juga perlu diwujudkan dengan membangun toilet dan menyediakan air minum bersih. Kebersih dilakukan dengan mencegah munculnya kutu pakaian penyebab penyakit tipus.

Kebersihan badan dilakukan dengan cara selalu menjauhkan badan itu sendiri dari kotoran, mencegah munculnya penyakit kulit. Kebersihan mulut dan gigi perlu diperhatikan, dan praktek sunat dianggap bisa menjaga kebersihan alat kelamin. Kebersihan makanan dan minuman perlu dilakukan untuk mencegah munculnya penyakit perut: tifus, kolera, disentri dan penyakit cacing. Hal itu bisa dilakukan dengan cara selalu mengonsumsi air yang dimasak terlebih dahulu dan menjauhkan makanan dari sentuhan lalat.

Terakhir, terkait kebersihan jiwa, Ramali mengatakan: “menjadi tinggi kualitas orang yang dan menjadi lebih beruntunglah mereka yang selalu menyucikan diri, sebagaimana perkataan Allah sendiri: maka beruntunglah orang-orang yang menyucikan diri (soerah al-‘Ala, ayat 14)”.

Kesucian jiwa atau higiene spiritual ini menurut Ramali bisa dicapai dengan dua cara: sholat

dan puasa. Ketika mengatakan ini ia merujuk kepada ayat al-Quran yang mengatakan “Dan dirikanlah sholat, karena dengan sholat akan tercegah dari perbuat buruk” dan “Wahai orang beriman, telah diwajibkan puasa kepadamu, seperti diwajibkan kepada umat -umat sebelummu, agar kamu bertakwa”. Sholat, menurutnya, merupakanfondasi dasar dalam agama ini.

Sebab praktek sholat, gerakan-gerakannya, merangkum kesatuan antara keseimbangan aspek spiritual dan material dalam hidup, seperti dalam gerakan mengangkat kedua tangan di permulaan shalat yang sudah dibahas sebelumnya.

Model lima prinsip ini juga bisa diamati dalam ibadah shalat: ada lima sholat  wajib dalam satu hari. Islam, dalam pandang populer, merupakan singkatan dari

lima aktifitas sholat: Isya, Shubuh, Lohor, Asar, Magrib. Setidaknya itulah yang banyak dipercaya oleh masyarakat. Dan karena itulah ia pun menyesuaikan argumen lima prinsip dalam Islam ke dalamanya.

Lebih jauh terkait hal ini, dengan mengutip Djawahir Boechari, ia pun menjelaskan lima prinsip kebersihan (al-Fithrah) dalam islam yang terdiri dari berkhitan, mencukur bulu kemaluan, mencukur kumis, memotong kuku, dan mencukur bulu ketiak. Selain itu, ia juga menambahkan lima hal yang harus dimanfaatkan sebelum datangnya lima yang lain, yang didasarkan kepada perkataan Nabi, yakni: hidup sebelum datang kematian, sehat sebelum didatangi sakit, waktu luang sebelum datang kesibukan, masa muda sebelum masa tua, kekayaan sebelum datang kemiskinan.

Memberi penekanan terhadap lima prinsip ini cukup penting menurutnya, sebab dalam tradisimasyarakat angka lima bukan sesuatu yang tidak dikenal.

Menurutnya, hal ini juga bisa ditemukan dalamberbagai tradisi di Nusantara, seperti “Poda na lima”, lima petuah yang merupakan bagian dari falsafah Suku Mandailing. Hari pasaran dalam tradisi Jawa pun terdiri dari lima: legi, pahing, pon,wagé, kliwon. Angka lima dengan demikian, merupakan simbol perpaduan antara Al-Quran dan Tradisi.

Tentu saja kita bisa menduga bahwa apa yang dilakukan oleh Ramali hanya sekadar mencocok-cocokan satu ajaran dengan yang lain. Tapi ini penting dilakukan untuk memberikan penjelasan terkait prinsip higiene kepada masyarakat luas supaya mudah dipahami. Seperti dalam pepatah melayu yang dikutip oleh Ramali: “kebersihan adalah pangkal kesehatan”. Ini sesuai menurutnya dengan kaidah agama yang mengatakan: “kesehatan tubuh merupakan dasar dari kesehatan agama”.

Demikian, menurutnya, “telah ditunjukan dengan jelas, bahwa upaya-upaya, yang berkaitan dengan kebersihan atas dasar keagamaan, dan juga pekerjaan - pekerjaan higiene bisa jalan beriringan”.

-----------------

* Gani A. Djaelani, Ph.D, adalah pengajar di Departemen Sejarah dan Filologi Universitas Padjadjaran. Menyelesaikan program doktor di Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris, dengan dissertasi berjudul La question de l'hygiène aux Indes-Néerlandaises: les enjeux médicaux , culturels et sociaux (1830-1942) (Perihal Kebersihan di Hindia Belanda: permasalahan medis, budaya, dan sosial (1830-1942)), ia memiliki minât penelitian terkait sejarah Indonesia abad ke XIX dan awal abad ke XX dengan spesialisasi ilmu pengetahuan, kedokteran dan teknologi. Bukunya yang telah terbit adalah Penyakit Kelamin di Jawa 1812-1942 (Syabas books: 2013).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement