Senin 18 May 2020 10:30 WIB

Sholat di Kapel, Pengalaman Muslim Indonesia Kerja di Jerman

Orang Jerman bertoleransi dengan umat beragama lain.

Sholat di Kapel, Pengalaman Muslim Indonesia Kerja di Jerman. Muslim Indonesia, Kynann Anindhita yang bekerja sebagai dokter di Jerman.
Foto: DW
Pelita Octorina, Muslim Indonesia yang bekerja sebagai peneliti di Jerman.

Namun Kynann merasa bersyukur, menurutnya lingkungan tempat kerjanya di Jerman sudah sangat bertoleransi dengan umat beragama lain, ia bercerita: “Orang Jerman kadang sangat logis, bertanya ini dan itu, mengapa berpuasa, mengapa tak minum dan makan seharian, bukankah tak baik bagi kesehatan? Mereka bertanya itu karena ingin berargumentasi saja dan ingin tahu logika berpikir kita saja. Jadi tinggal dijawab saja dengan sejujur-jujurnya, karena alasan ini dan itu. Mungkin ada yang tidak sependapat tapi mereka kembalikan lagi kepada kita, ya berarti itu kepercayaan kamu,” demikian diceritakan Kynnan.

Besarnya semangat toleransi beragama di Jerman juga dirasakan oleh Pelita Octorina seorang periset doktoral dengan fokus studi zooplankton di Universitas Konstanz di Jerman. “Alhamdulillah saya tidak mendapatkan masalah dengan menjadi minoritas di Jerman, baik dalam kehidupan beragama maupun sosial. Banyak warga Jerman tidak peduli apa agama saya dan mereka tetap memperlakukan saya dengan baik.“

Pelita bercerita tempat tinggalnya di Konstanz berdekatan dengan masjid kota, sehingga biasanya memudahkan keluarganya beribadah saat Ramadan. Namun di tengah pandemi corona tahun ini, masjid tersebut tertutup bagi masyarakat.

Kangen kajian religi

Yang agak sulit selama ini baginya adalah mencari pertemuan kajian religi. “Meskipun saya tinggal dekat masjid dan mereka memiliki jadwal kajian terutama bagi anak anak, keluarga kami tidak ikut serta sebab faktor bahasa menjadi kendala karena kajian tidak diselengarakan dalam bahasa Jerman, melainkan bahasa Turki, sebab mayoritas jemaahnya adalah orang Turki.”

Saat belum pindah ke Jerman dan masih tinggal di Sukabumi dulu, Pelita bekerja di Universitas Muhammadiyah Sukabumi, di mana semua kegiatannya di tempat kerja bernapaskan Islam, mulai dari pakaian, bahasa, dan waktu beribadah. “Kampus kami dulu memiliki fasilitas untuk beribadah dan menyediakan waktu khusus untuk beribadah bersama-sama (berjamaah). Dan kajian keislaman pun menjadi kegiatan rutin mingguan." Itu sebabnya ia merindukan kajian religi. 

Pelita mengakui pada awalnya sedikit mengalami kesulitan untuk beribadah (salat) di Eropa, terutama karena kondisi musim yang menyebabkan perbedaan lamanya waktu siang dan malam yang signifikan di musim panas maupun musim dingin. Berbeda dengan Kynann di tempat kerjanya di universitas di Konstanz tidak memiliki fasilitas untuk beribadah, serta jadwal salat kadang tidak bertepatan dengan jadwal istirahat.

“Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai beradaptasi. Hal ini tidak terlepas dari dukungan kolega di institut. Mereka mengizinkan saya untuk beribadah di ruang perpustakaan atau ruang kumpul bersama. Bahkan saya sering melakukan ibadah di kantor saya, di mana di sana juga berkerja dua orang kolega saya yang berkebangsaan Jerman.“ 

Pelita menambahkan mereka tidak keberatan saya beribadah di saat mereka pun sedang bekerja di ruangan yang sama. “Saya tidak menemui kesulitan menjadi satu-satunya muslim berhijab yang bekerja di sana.“

 

 

sumber : https://www.dw.com/id/toleransi-beragama-di-jerman/a-53432403
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement