REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Nasionalis Hindu menggunakan isu virus Corona atau Covid-19 untuk memicu kebencian terhadap Muslim. Mereka menggunakan platform online dan beberapa media arus utama untuk menuduh Muslim India telah menyebarkan penyakit. Para kritikus pun menyalahkan Perdana Menteri Narendra Modi, yang berupaya membentuk kembali India sebagai negara Hindu.
Nasib tragis dialami oleh Gayur Hassan di India Utara, pada suatu malam rumahnya dilempari batu oleh tetangga Hindunya. Bahkan bengkel miliknya dibakar. Itu karena putra Gayur Hassan menyukai postingan media sosial yang mengecam penargetan minoritas Muslim India sejak penerapan lockdown pada akhir Maret lalu. Kabar ini laporan AFP yang dilansir oleh Indiatimes.
Selama dua bulan terakhir, tim pemeriksa fakta AFP telah menghilangkan hoaks dari ratusan posting media sosial yang secara salah menargetkan Muslim yang dikaitkan dengan pandemi Covid-19. Di antaranya, video palsu yang menunjukkan seorang Muslim menjilat buah untuk dijual dan melanggar aturan Lockdown. Juga sebuah foto yang disebar di Facebook dan Twitter menunjukkan Muslim India melanggar aturan jarak sosial dengan berdoa di atap. Namun faktanya foto tersebut menunjukkan orang-orang berdoa di Dubai.
Begitu juga dengan ratusan ribu posting online menggunakan tagar #CoronaJihad. Beberapa di antaranya telah dibagikan oleh anggota Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di India. Surat kabar dan saluran televisi serta pemerintah juga dituduh memicu ketegangan, dengan melabeli anggota Jamaah Tabligh sebagai "bom manusia". Ketika informasi yang salah telah meledak, demikian juga kekerasan dan kemarahan dunia terhadap Muslim menjadi nyata.
Di seluruh negeri, pengemudi truk dan pedagang Muslim diserang. Dalam satu kasus yang dikonfirmasi oleh polisi, sebuah video facebook menunjukkan seorang pemuda Muslim berdarah dan memohon ketika ia dipukuli dengan tongkat. Salah seorang penyerang mengatakakan "Siapa yang mengirimmu untuk menyebarkan virus corona?" bentak penyerang.
Penghasutan terhadap Muslim di India juga dilakukan secara intens melalui poster “No Muslim” yang muncul di beberapa desa. Bahkan sebuah rumah sakit mengumumkan tidak akan menerima pasien seorang Muslim tanpa sertifikat yang menunjukkan bahwa mereka negatif Covid-19. Sekitar 200 juta Muslim India telah lama mengeluh tentang meningkatnya permusuhan di bawah Perdana Menteri Modi yang telah berkuasa hampir enam tahun. Pada tahun 2002 silam, Modi menjadi orang yang bertanggung jawab atas kerusuhan atas nama agama di Gujarat yang menewaskan sekitar 1.000 orang mayoritas Muslim.
Menurut para aktivis, pada masa jabatan pertamanya sebagai perdana menteri ada peningkatan gerakan "vigilantisme sapi". Ekstrimis Hindu membunuh Muslim hanya kerena dituduh mengkonsumsi daging sapi atau membunuh sapi yang dikeramatkan oleh umat Hindu.
Kemudian pada masa jabatan keduanya tahun lalu, dimulai dengan mencabut otonomi satu-satunya negara bagian mayoritas Muslim di India, dan undang-undang kewarganegaraan baru dikritik sebagai diskriminatif. Pada bulan Februari, terjadi kerusuhan agama terburuk di Delhi dalam beberapa dekade yang menewaskan lebih dari 50 orang, dua pertiganya adalah Muslim. Seorang anggota parlemen lokal BJP dituduh sebagai penghasut utama.
Para aktivis menyampaikan bahwa dalam beberapa pekan terakhir, ketika perhatian media terfokus pada pandemi, pihak kepolisian telah meningkatkan penangkapan orang-orang yang diduga terlibat dalam kerusuhan. Namun sebagian besar yang ditangkap adalah Muslim, mirisnya, beberapa diantaranya dibawah ancaman undang-undang anti-teror. "Mereka memastikan tidak ada seorang pun yang mengangkat suara bagi masyarakat setelah pandemi berakhir," keluh mantan menteri urusan minoritas, Rahman Khan.
Sementara Shahid Siddiqui dari Muslim India untuk Kemajuan dan Reformasi, sebuah kelompok masyarakat sipil yang dibentuk untuk memerangi Islamophobia, mengatakan negara terlibat dalam memicu kebencian. Muslim sudah difitnah dan dicap berbahaya di bawah propaganda yang sistematis. Covid-19 telah menambahkan dimensi baru, mengubah Muslim menjadi "yang tak tersentuh" yaitu kata yang biasanya digunakan untuk merujuk pada kasta terendah India.
"Itu (telah) merupakan upaya yang disengaja oleh media dan pemerintah untuk mengalihkan perhatian negara dari krisis dan memungkinkan politik kebencian untuk memerintah," kata Shahid.