Rabu 15 Apr 2020 09:55 WIB
Ilsam

Kekuasaan, Keadilan, Akal dan Ilmu Dalam Islam

Hikmah dan tanggung jawab ilmu dan kekuasaan mewujudkan keadilam

Suasana peradilam zaman Ottoman.
Foto:

Datang dan pergi sejumlah nabi sesudah mereka, sampai akhirnya Allah Maha Pencipta mengirim Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam, kekasihnya. Tak mengenal ayahnya sedari kecil, itulah Mhammad Sallahu Alaihi Wasallam. Tetapi kedatangannya seolah menjadi suratan alam bahwa kezaliman sampai dengan waktu itu, dan sesudahnya segera berada dalam tantangan paling eksplosif.

Ada begitu banyak hal indah yang menghidupkan dan mengocok rasa, menghadirkan simpati. Juga optimisme bahkan keberkahan dari Muhammad kecil. Memukau bila dijahit satu demi satu. Tapi satu hal, kejujuran yang merupakan hulu keadilan, kekuatan dan keagungan hukum, politik dan ekonomi, telah menyertainya sedari kecil, seperti purnama disepanjang malam.

Keberuntungan, sebenarnya keberkahan telah dilihat Halimah sejauh itu pada Muammad, si kecil yang jujur. Itu membelenggunya untuk terus mengasuhnya. Ada semacam keberuntungan, kata Halimah dengan mengasuhnya. Tetapi Abdul Muthalib, kakeknya, pelindung otoritatif baninya, harus mengambil dari Halimah dan membesarkannya.

Kejujuran dan keberuntungan berspektrum Rabbani telah mengalir disekujur nafasnya. Nampak di sepanjang waktu, Muhammad remaja menemani kakeknya berdagang. Kejujurannya melambung membelah kegelapan Makkah. Dan Khadijah, penghulu seluruh muslimah, wanita paling kaya, dan berkumpul padanya kehormatan ini terperangkap pesona kejujurannya.

Pesona itu mendekatkan dirinya pada Muhammad, Sang kekasih Allah yang  agung ini, dalam jalinan usahanya. Jalinan ini membesar dalam rasa lain yang terhormat. Kebaikan tak boleh dibiarkan berlalu. Akhirnya dengan disegerakan dengan cara terhormat. Keduanya tersatukan dalam ikatan suami-istri.

Malam-malam sesudah itu, Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam, suami Khadijah, sering menyendiri.

Suatu malam yang dingin di Gua Hira, Muhammad, yang saya tak mampu tak menulis Sallallahu Alaihi wasallam untuknya, kedatangan peristiwa, mungkin apokalipstik. Baca? Bagaimana bisa? Saya tak bisa baca. Baca, kata suara itu! Ini digambarkan dengan sangat memukau oleh Lesley Hazleton, Jurnalis Timur Tengah yang memfokuskan tulisannya mengenai temat-tema politik dan agama serta sejarah peristiwa aktual.

Hazleton menulis, apa yang terjadi di Gua Hirah di atas sana, reaksi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam benar-benar manusiawi itu, barangkai merupakan argumen paling kuat bagi kebenaran historis peristiwa tersebut. Rasa ngeri adalah satu-satunya tanggapan yang waras. Kengerian dan penyangkalan.

Sebaliknya, tulis Hazleton lebih jauh, Khadijah bereaksi seolah hal ini merupakan apa yang selama dia sudah duga, seolah-olah dia sudah melihat dalam diri Muhammad apa yang tak terlintas dalam pikiran suaminya. Ketika Muhammad bilang dia khawatir akan menjadi gila, Khadijah hanya menggelengkan kepala.

Semoga Tuhan menyelamatkanmu dari kegilaan, sayangku, katanya. Tuhan tidak akan melakukan hal seperti itu kepadamu, karena Dia tahu ketulusanmu. Hal seperti ini tidak mungkin terjadi. Dan begitu Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam menceritakan kepadanya semua yang terjadi, keyakinan Khadijah yang tenang itu semakin menguat. Demi Dia yang ditangannyalah jiwaku berada, katanya “berharap semoga engkaulah nabi bagi masyarakat ini.”

Awal yang menentukan saat itu dan sesudahnya, bersinar terang untuk semua spektrum. Itu mungkin menjadi kalimat paling representative yang menandai kedatangannya, yang berabad-abad lalu telah diterangkan Isa Alaihissalam. Dan ya, dunia arab dan sekitarnya, termasuk Persia dan Romawi Timur (Byzantium) yang semula berpusat di Siria, akhirnya berubah untuk selama-lamanya. Babilonia dan Persia juga sama, berubah, hilang untuk selamanya.  

Nabi mengambil langkah luar bisa, tulis Karen Amstrong dalam File Bloddnya, dengan  bermigrasi, hijrah dari Makkah ke Madinah. Gemilang dengan ilmu dan kebijaksanaannya, dan semua atribut teologis, Madinah ditata. Ia awali dengan konsep “ummah.” Orang Madinah menerimanya dengan tulus. Dikenal dengan kaum Ansyar (penolong).

Ketajaman ilmu dan kecerdasannya segera menghiasi Madinah. Hukum baru untuk kehidupan bersama yang bermartabat segera diperkenalkan. Itulah Piagam Madinah (Madinah Charter), begitu sebutan umum untuk piagam ini. Keangkuhan kesukuan dan teritorialitas di Madinah sebelumnya dilembutkan, diubah menjadi hidup bersama secara bermartabat.

Orang-orang yang begitu lama terperangkap pada sentimen dan keangkuhan kesukuan, disatukan dalam citarasa hidup bersama sebagai manusia berakal, beradab dan bermartabat. Status hukum mereka yang berbeda-beda disetarakan. Hak dan kewajiban untuk semua kelompok, suku, disetarakan.

Keadilan jelas, bekerja disepanjang kepemimpinannya. Rasulullah menjadi hakim untuk semua perselisihan. Sedemikian banyaknya sehingga tak mungkin dirangkai satu demi satu pada kesempatan ini. Bagi saya cukuplah piagam Madinah diketengahkan untuk menjelaskan keadilan yang bersandar pada ilmu dan kebijaksanaannya bekerja menandai keagungannya dalam bidang ini.

Hukum dan keadilannya terus bersinar menyusuri waktu-waktu yang akan datang sesudah kepergiaannya yang abadi. Satu demi satu sahabat-sahabat yang memerintah memperlihatkannya. Dari Sayidina Abubakar Ass Siddiq, pria yang tak pernah menyangkal kebenaran ucapan Rasulullah ini, memulainya. Ruang ini tak bakal cukup mencatatnya. Cukuplah mengutip uraian  Khalid Muhammad Khalid, penulis bestseller Rijal Haula Ar-Rasul tentang dia.

Khalid menulis  “Apabila melihat keadaan yang menyedihkan, kedua matanya akan lembab, basa, lalu meneteskan air mata sebagai ekspresi rasa kasih sayang dengan kepeduliannya. Sedangkan jika melihat kezaliman, kedua matanya akan merah, membara dengan gelora yang tulus dan suci.”

Menjadi penguasa bukan berarti menguasai, melainkan tugas yang wajb ditunaikan sebaik mungkin. Kepemimpinan bukanlah sikap congkak karena merasa terhormat dibandingkan dengan orang lain, tulis Khalid pada bagian lain. Itulah Sayidina Abubbakar, sahabat yang pertama memerintah setelah kepergian Rasulullah Sallalahi Alaihi          

Lain Sayidina Abubakar, lain pula Sayidina Umar Bin Khattab. Tetapi keduanya  sama dalam satu hal;  adil dalam berhukum dengan ketegasan dan kelembutan yang hebat selama memimpin. Dikenal jauh sebelum menjadi khalifah sebagai orang adil dan tegas, itu juga terlihat pada pertamanya setelah diangkat menjadi Khalifah.

Sepenggal kalimat dalam pidatonya disajikan Muhammad Husen haikal berikut ini. “Kemudian sayalah, saya yang akan mengurus kalian. Ketahuilah Saudara-saudara, bahwa sikap keras itu sekarang sudah mencair. Sikap itu hanya terhadap orang yang berlaku zalim dan memusuhi kaum Muslimin. Tetapi buat orang jujur, orang yang berpegang teguh pada agama dan berlaku adil, saya lebih lembut dari mereka semua.

Sayidina melanjutkan, saya tidak akan membiarkan orang berbuat zalim kepada orang lain atau melanggar hak orang lain. Pipi orang itu akan saya letakan di tanah, dan pipinya yang sebelah lagi akan saya injak dengan kaki sampai ia mau kembali kepada kebenaran. Sebaliknya sikap saya yang keras, bagi orang yang bersih dan mau hidup sederhana, pipi saya ini akan saya letakan di tanah. 

Cara adalah satu hal dan esensi serta tujuan adalah hal lainnya. Dengan cara berbeda, tetapi esensi dan dan tujuan yang menghidupkan hukum seadil-adilnya untuk kemaslahatan, martabat, harta setiap orang, bersinar lagi dalam kepemimpinan sesudah mereka. Akal dituntun ilmu, kembali menemukan panggung di sepanjang kepemimpinan Sayidina Usman dan Sayidina Ali, dalam periode yang singkat.

Cahaya keadilan tak pernah terutupi debu waktu. Karena bersemayam dan memancar dari jiwa-jiwa yang berilmu, keadilan pada dasarnya tak terdefenisikan. Itu sebabnya ia akan terus ada, mekar, sejauh akal berisi ilmu. Siappun orangnya, sepanjang dia memilikinya, keadilan akan mekar semekar-mekarnya.

Umar Bin Abdul Aziz, Harun Ar-Rashid, Shlahuddin Al Ayubi, dan Muhammad Al-Fatif, yang datang jauh sesudah Khulafa Ar Rasyidin itu, memiliki itu; akal dan ilmu. Ilmu ini tidak khas Aristotelian, Bentham, John Marshal, Dworkin dan Antonio Scalia. Tidak!

Jiwa yang bening, berkilau dengan akal yang berilmu, itulah induk keadilan, ibunya hukum. Keadilan itu berakar pada jiwa, pada akal yang berilmu, yang membuat pemiliknya tahu, bahwa kelak mereka juga diadili. Ketika masa itu tiba, anda sendiri yang berdiri di hadapan Sang Pengadilan akhir. Tak ada kata-kata. Tak ada yang membantu. Kau sendiri bicara, dan raga menjadi saksi. Akal tak bekerja. Ilmu berkilauan.

     

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement