Rabu 15 Apr 2020 09:55 WIB
Ilsam

Kekuasaan, Keadilan, Akal dan Ilmu Dalam Islam

Hikmah dan tanggung jawab ilmu dan kekuasaan mewujudkan keadilam

Suasana peradilam zaman Ottoman.
Foto:

Kebaikan, kebeningan dan keindahan hukum macam apa, andai ada, yang dapat disajikan dalam tampilan aslinya dari dua jagoan kerdil ini? Hampir tak ada kata dan kalimat tepat, yang pantas digunakan selain menyatakan hukum tak lebih dari sekadar senjata penyangga kekuasaan keduanya.

Kedua orang ini adalah hukum itu sendiri. Hukum jadinya sangat personal, subyektif, tergantung dan bersandar penuh pada suasana akal. Keduanya pun menjadi hukuman itu sendiri. Titah keduanya, itulah hukum dan itu pulalah hukuman.

Alam keadilan bekerja dengan nada indah, terus-menerus memanggil manusia menghentikan kebobrokan itu. Allah Yang Mendengar, Maha Tahu, Maha Penolong dan Maha Adil bekerja dengan cara sendiri. Utusan-utusannya, yang tidak lain adalah nabi-nabinya, terus datang dan  datang menyerukan keadilan dan kemanusiaan.

Roda hasrat dan teror takdir bertemu dengan efek musikalitas yang mengasyikan sekaligus menyeramkan, menyudahi nafas Namrud dan Firaun. Berakhirkah? Tidak.  Keangkuhan akal memunculkan Nabopolassar, pendiri sebuah kerajaan di Babilonia (sekarang Irak).

Memiliki anak bernama Nebukadnessar, Babilon memperluas wilayah taklukannya. Jauh sebelum naik tahta, Nebukandnessar telah memerangi Yerusalem, dan mengalahkan mereka. Situs spritualitas Yahudi runtuh, berantakan untuk selamanya.  Dalam perjalanan pulangnya, dia membawa pergi orang pintar Yerusalem ke Babilon. TerLuka dalam semua sudut, tertanam dalam ingatan yahudi Yerusalem.

Kelak setelah ketentuan takdir bekerja mengakiri nafasnya, dan Nebukadnessar menginggal mati diserang wabah nyamuk, kerajaan kecil ini memunculkan Hammurabi. Pria keras yang pernah memerangi Suriah, Damaskus bahkan pernah ke Mesir, akhirnya menjadi raja.

Tercipta atas prakarsa pemerintahannya hukum kodifikasi pertama dalam sejarah ummat manusia sejauh itu. Dikenal dengan nama Codex of Hammurabi, yang menurut Owen Jarus, sekitar tahun 1792-1750 Sebelum Masehi. Tetapi tampilan tak selalu mewakili isinya, hukum ini, untuk alasan apapun, tidak lebih bagus dari hukum-hukum sebelumnya.

Inti gagasan dalam hukum ini, ya untuk menertibkan masyarakat, sekaligus menjadi penopang utama kerajaannya. Ini sangat tipikal, bahkan untuk masa-masa yang datang, yang jauh sesudahnya. Malah praktik itu, kelak dalam bentuk yang lain dengan esensi yang sama mendekorasi hukum-hukum abad pencerahan. Bahkan hingga kini.

Mata dibalas mata, gigi di balas gigi, perusak saluran air harus memperbaikinya sehingga terhindar dari hukuman, termasuk hukuman mati. Ini tipikal hukum Hammurabi. Tipikal ini menjadi penjelas mengapa hukum itu disebut Lex Talionis, hukum balas dendam.

Hakim, dalam hukum ini bukanlah hakim yang dikenal dimasa Khulafa Arrashidin, dan sesudahnya dalam peradaban hukum Islam. Dalam hukum Hammurabi, hakim tidak  beritndak sebagai pemutus semata. Mereka dapat juga bertindak sebagai saksi dalam satu perkara yang mereka sendiri terlibat di dalamnya.

Dalam kasus Susanah, seorang perempuan telah bersuami yang dijebak dua hakim. Keduanya mengirim dua pemuda mengintip Susana mandi, sesuatu yang terlarang menurut hukum,  berakhir di pengadilan. Kedua hakim licik ini, menjadi saksi untuk tuduhan yang mereka sendiri rancang dan alamatkan padanya.

Susana diadili di pengadilan rakyat. Dua hakim hadir dan menerangkan bahwa Susana telah melanggar hukum. Susana menyangkal, tetapi tak berdaya. Ia, begitu kedua hakim menuduhnya, telah menerima dua laki-laki di kala suaminya sedang tak berada di rumah.

Hukum Hammurabi melarang itu. Susana tak berdaya. Tak punya saksi. Menyangkal tak berguna, dan ya dihukum. Begitulah hukum Hammurabi bekerja. Tak beda dalam esensinya dengan hukum-hukum sebelumnya. Itulah hukum yang bercokol hanya pada akal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement