REPUBLIKA.CO.ID, Terdapat tiga perkara yang pernah dikhawatirkan Rasulullah SAW. Tiga perkara tersebut, pada era sekarang terbukti terjadi di tengah-tengah masyarakat.
Dalam sebuah hadis diriwayatkan Imam Ibnu Syihab, Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Hai para sahabat, aku khawatir terjadi tiga perkara yang menimpa komunitas bangsa dan masyarakat.'' Lantas para sahabat bertanya, ''Apa ya Rasulullah yang engkau khawatirkan?''
Pertama, kata Rasulullah, zaalatul 'aalimin, yaitu penyimpangan yang dilakukan para ulama atau tokoh agama. Ulama tidak berfungsi sebagai warosatul anbiya. Ulama tidak lagi menjadi penerang dan panutan umatnya.
Rasulullah khawatir jika hal itu terjadi pada bangsa manapun. Bahkan, yang paling dikhawatirkan adalah manakala ulama telah menyimpang dari keulamaannya. Bukan membimbing umat kepada hal yang benar, justru mengarahkan umat kepada yang menyelamatkan dirinya atau justru mengantarkan umat kepada kebinasaan.
Kedua, wahukmu jairin, yakni supremasi hukum yang tidak benar. Penegakan hukum tidak mencerminkan keadilan. Kalau ini terjadi, kata Rasulullah, hancurlah masyarakat dan bangsa di manapun. Hukum yang mandul, hanya akan menjatuhkan wibawa penguasa, dan orang semakin mudah mempermainkan hukum.
Pada sisi lain, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum semakin menurun. Orang berkantong tebal dan berpangkat tinggi semakin berani berbuat kejahatan, sebab akan sangat sulit dijerat hukum.
Sementara masyarakat kecil tidak ada yang terlewatkan dari jeratan hukum, sekecil apa pun pelanggaran yang dilakukan. Praktik seperti ini hanya akan menyuburkan berbagai ketidakadilan sosial, suburnya kemaksiatan, dan kejahatan berskala besar.
Kekhawatiran Rasulullah yang ketiga adalah wahawaun muttaba'un, manusia sudah mengikuti nafsunya masing-masing. Bila setiap orang sudah memikirkan dan mementingkan dirinya sendiri sesuai hawa nafsunya dan tidak lagi mementingkan orang banyak, maka hancurlah tatanan masyarakat tersebut.
Inilah egoisme, sifat yang sangat dibenci Islam. Paradigma kaum egois, orang lain tidak dipandang sebagai saudara, tetapi sebagai objek. Objek untuk memuaskan nafsu dan syahwat duniawinya.
Dalam konteks ini, mereka tidak peduli apa yang terjadi pada orang lain walaupun kepuasan yang diperoleh juga adalah hasil interaksi (memeras) dengan orang lain. Namun, hal itu tidak diperhitungkan, mereka menganggap apa pun yang didapat adalah hasil jerih payah sendiri.