Senin 06 Apr 2020 07:31 WIB
Hikmah

Kompromi dan Politik Islam

Kisah teladan dari Amerika Serikat Hingga Dua Orang Khalifah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berbincang dengan awak media Istana di Istana Merdeka.
Foto:

                          ******

Begitulah jejak-jejak sejarah mencatat kegemilangan dan keagungan Umar Bin Abdul Aziz, sang Amirulmukminin ini. Dirinya dituntun ke alam juhud, tenggelam didalamnya dengan keadilan, cinta kemanusiaan, dan di atas semuanya, dengan cahaya Islam. Dan roda waktu berputar menjemput Harun bergelar Ar Rasyid, 66 tahun kemudian. 

Harun adalah Harun, anak Khalifah Mahdi dengan Khaizzuran istri khalifah,  yang  lahir pada tahun 766, mencapai sukses besar pada usia 19 tahun. Pasukan yang dipimpimnya menyerang, mengepung  Konstantinus IV, dan merebut benteng Samalu selama 38 hari. Sukses.

Dengan pasukannya yang berjumlah 100.000 Harun terus bergerak maju melalui Pagunungan Taurus, bertemu dan mengalahkan Nicetas, jenderal terkenal. Juga merebut Magida di gerbang Cicilia. Dari sana, tulis Bobrick, Harun dan pasukannya berderap ke Chrysopolis dan terus ke Konstantinopel.

Sukses besar inilah yang mengantarkan Harun, menurut Bobrick, ke gelar “Ar-Rasyid” yang artinya “yang mendapat petunjuk.” Harun yang telah bergelar Ar Rasyid bukan putra mahkota utama. Yang pertama diposisi itu adalah Hadi, abang kandungnya, yang reputasinya tak setara Harun. Tetapi Mahdi, ayahnya, dengan pertimbangan tertentu, mengangkat Harun sebagai khalifah.

Hadi, kakak kandung Harun ternyata  menolak Harun menggantikan dirinya menjadi khalifah. Apa yang dilakukan Harun? Kendati semua prajurit berada di sisinya, Harun memberi dukungan penuh kepadanya. Ya Harun mengalah. Membiarkan abangnya menggenggam kekuasaan.

Kendati begitu Hadi, abangnya tetap mencurigai Harun. Harun pun mau dibunuh oleh Abangnya, untuk memastikan Ja’far, anaknya menjadi khalifah, menggantikan dirinya. Tetapi takdir punya hukum sendiri. Hadi meninggal dunia, karena diracun oleh salah satu istrinya. Pada malam itu juga, takdir membawa Harun menjadi Khalifah.

Takdir masih belum berhenti bicara. Pada malam itu juga istri Harun melahirkan seorang anak laki-laki. Kelak dinamakan Abdullah, dan menjadi khalifah. Praktis pada malam itu terjadi tiga pristiwa;  Hadi meninggal dunia, Harun naik tahta dan istrinya melahirkan seorang laki-laki yang kelak menjadi khalifah juga. Malam penuh peristiwa ini, kelak disebut “malam takdir.”

Harun Ar Rasyid gagah perkasa dengan semua reputasi sebelum menggenggam jabatan khalifah. Tapi itu bukan modal utamanya membuat Harun gemilang dalam memerintah, membuat kekhalifaan Umayah berjaya dimasanya. Islam lah yang membawanya ke level keemasannya. Organisasi pemerintahan direformasi secara radikal. Reformasi strukturalnya dipandu dengan ketegasan dan kerendahan hati serta keadilan.

Harun Ar-Rashid, sang khalifah, dalam kenyataan tak mempu menjauh dari kebutuhan mengasah kepekaan kemanusiaan. Untuk urusan itu, Harun kukuh dengan Shalat sebagai benteng terkuatnya. Setiap pagi Harun memberikan seribu dirham untuk amal dan melakukan Sholat seratus rakaat.

Harun, mungkin satu-satunya khalifah Umayah yang membebani dirinya dengan kewajiban-kewajiban berat. Harun juga mungkin merupakan satu-satunya khalifah yang memaksa dirinya melaksanakan begitu banyak sujud dengan shalat hariannya.

Persis seperti sholat, Harun membebani dirinya sebegitu berat dengan kewajiban mengunjungi pasar. Tidak itu saja, ia harus tahu keadaan disetiap sudut kota. Semuanya dibebankan kepada dirinya sebagai cara tepat mengetahui keadaan kehidupan rakyatnya.

Mengapa cara berat dipilih Harun? Ini karena bila ada masalah lidahnya tak mampu kelu untuk meminta nasihat para cendekia, ilmuan, dan ulama. Suatu saat ia mengatakan kepada As Sammak, ilmuwan top kala itu. Dia bertanya,"Apa yang hendak kau katakan padaku, tanyanya? Sammak pun menjawab: "Saya ingin anda selalu ingat bahwa kelak anda akan berdiri sendirian dihadapan Allah Subhanahu Wata’ala. Kemudian anda akan dimasukan ke surga atau neraka."

Kalimat ini menghentak seorang pembantu Harun. Ia menilai kalimat Sammak  terlalu tajam untuk seorang penguasa. Dan benar, Harun terlihat tertekan. Kepala rumah tangga itu berteriak “Ya Allah” bisakah seorang meragukan kepemimpinan orang beriman akan masuk surga setelah beliau memerintah dengan adil?"

Melihat itu Sammak tetap tenang, tidak goyah. Sammak malah mengabaikan kepala rumah tangga itu dan menatap Harun dengan tajam. Dengan tatapan khasnya itu, sang Ilmuwan berkata: "Anda tidak akan didampingi orang ini untuk membela anda pada hari itu.”

Namun, jengkelkah atau  marah atau sejenisnya Harun kepada Sammak atas kata-kata tajamnya itu? Tidak.  Tidak sama sekali.

Bahkan,  bertahun-tahun setelah itu, Sammak kemudian dipanggil lagi ke Istana. Seorang pelayan segera memasukan kendi ke pertemuan itu, dan Harun segera menempelkan ke bibirnya. Tetapi segera disambut Sammak dengan sebuah pertanyaan mematikan.

Pertanyaan Sammak kali ini adalah,"Kalau seteguk air itu diambil darimu, berapa banyak yang akan anda berikan untuk mendapatkannya? Harun menjawab:" Separuh kerajaanku!".

Sammak, sang ilmuwan top ini segera menyusulkan kata-kata, “Minumlah dan semoga Allah menyegarkan anda.”

Namun Sammak ternyata kemudian belum menyelesaikan perkataannya. Dia ternyata masih mengajukan pertanyaan lagi. Sammak bertaka: "Pertanyaannya sekarang adalah jika anda tidak bisa menghilangkan air itu dari tubuh anda, apa yang anda berikan agar bisa melakukannya? Lagi-lagi Harun menjawabnya dengan kata: “Separuh kerajaanku. Sebuah kerajaan bernilai tak lebih dari seteguk air, kata Sammak menyudahi pertanyaannya.

Harun terlihat selalu tak berdaya menghadapi ilmuwan. Tidak hanya kepada Sammak, ilmuwan lan yang sering diminta nasihatnya. Ketika sedang berhaji, Khalifah bergelar Ar-Rashyid ini, jumpa seorang badui yang berpakaian seadanya. Itu terjadi ketika dia melakukan tawaf mengelilingi Ka’bah. Kala itu si badui berlari mendahului Harun. Ia pun mengawali tawafnya sebelum Harun ar-Rasyid sang khalifah.

Melihat itu pengawalnya lalu menghentikan si Badui ini, sembari berkata: "Lancang sekali kau..! Mendengar bentakan pengawal Harun, Badui itu menjawab: “Allah menjadikan semua orang setara di tempat ini, karena dia berfirman. Masjid al-Haram dibuat untuk semua manusia secara sama."

Mendengar itu Harun menerima jawaban itu dan melepaskannya. Namun, ketika sang Khalifah hendak mencium Hajar Aswad, dan sholat di depannya, sekali lagi si Badui mendahuluinya.

Sadar akan hal itu, Khalifah Harun ar Rasyid lalu berkata: "Aku akan duduk di sini bila engkau mengizinkan." Mendengar sang khalifah berlata seperti itu Badui pun menjawabnya: "Rumah ini bukan miliku. Jika kau suka, duduklah. Jika tidak, jangan."

Harun Ar-Rasyid kemudian  duduk sembari mengajukan satu pertanyaan kepada Baduy itu. "Aku ingin bertanya kepadamu mengenai kewajibanmu?. Bila engkau benar dalam soal ini, maka engkau benar dalam semua soal"

Kemudian si Badui pun menjawab:" Apakah engkau bertanya untuk kepentinganmu atau untuk memperdayaku? "

Harun menjawab: “Untuk belajar.”  Lalu si Badui pun berkata, "Kalau begitu duduklah dalam posisi yang patut sebagai seorang murid. Harun pun setuju.

Dalam posisi itulah Harun, Sang Ar-Rasyid ini menyimak jawaban si Badui. Si Badui lalu mengulangi pertanyaan Khalifah, “Kewajiban apa yang telah dibebankan Allah kepadamu.” Dan setelah itu segera si Badui mengalirkan jawabannya yang membuat Harun, sang Ar-Rasyid terpana.

Jawabannya si Badui begini, "Dengan itu apa kau maksudkan satu kewajiban, lima, tujuh belas, tiga puluh empat, atau delapan puluh lima. Atau kewajiban untuk seumur hidup? Harun merasa terhibur, dan berkata aku bertanya pada mengenai kewajibanmu, dan engkau beri penjelasan.

Lelaki Badui itu menjawab dengan hikmat. Wahai Harun, begitu lelaki badui mengawali jawabannya, jika agama tidak melibatkan penjelasan, Allah tidak akan memanggil manusia untuk beri penjelasan dan pertanggungjawaban di hari penghakiman. Sesudah itu si Badui lalu menjelaskan tentang jumlah kewajiban, satu demi satu. Dan Harun terpana, takjub.

Semuanya indah, bahkan terlalu indah untuk dilupakan. Semuanya manis, bahkan terlalu manis untuk dikenang.

Atas penjelasan itu, Harun menyadari bila kerajaan dengan kesuksesan yang begitu mengagumkan melampaui London dan Paris pada masanya, akhirnya suatu saat toh akan hilang tak berbekas. Semuanya pasti berlalu menjadi kenangan indah dan seindah keadilan menyebar di seluruh ruang dan waktu di sepanjang jalan pemerintaham. Atas teladan dari peri laku Harun Ar Arsyid itulah dia dikenang sebagai pemimpin bagi orang-orang yang mengenal diri. 

Akhirnya, akankah jalan berat sekaligus mulia ini akan disusuri Pak Jokowi, seorang Presiden yang hari-hari ini sedang mengurus Corona yang terus merajalela?  Tak ada satu pun yang tahu apa yang ada di dalam sanubarinya. Peptah sudah mengatakan: Dalamnya lautan dapat dikenali, dalamnya hati selalu tak teraba.

Tapi harapannya, meski lingkungan politik telah berbeda sangat jauh dari era khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Harun ar-Rasyid, -- bahkan kini penuh dengan perna-pernik baru yang bisa memenjarakan kalbu, Pak Jokowi bisa mengambil itiba' atau contoh dari mereka. Keagungan dan kenikmatan kekuasaan memang bisa  memenjarakan setiap penguasa yang berenang di dalamnya, tapi semua bisa di atasi. Syaratnya, bila pribadi sang penguasa setia pada iman nuraninya dan juga dengn bekal ilmu yang memadai.

Masih ada waktu, begitu kata Ebiet G Ade seperti dalam rilis lagunya yang terbaru.

Jakarta, 5 April 2020.

  

 

  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement