Senin 06 Apr 2020 07:31 WIB
Hikmah

Kompromi dan Politik Islam

Kisah teladan dari Amerika Serikat Hingga Dua Orang Khalifah

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat berbincang dengan awak media Istana di Istana Merdeka.
Foto:

Kompromi, memang telah menjadi tabiat politik klasik. Kompromi jenis ini pernah diterapkan secara praktis oleh Spartakus. Ia menyertakan dua lawannya ke dalam kekuasaan. Jadilah mereka bertiga mengelola kekuasaan. Spartakus aman dengan kekuasaannya. Dan Spartakus, kelak dikenang dunia hukum dan politik sebagai otak, sekaligus peletak dasar konsep Triumvirat.

Politik dan hukum, apalagi hukum konstitusi, dimanapun selalu berputar pada hak dan kepentingan. Apa akibatnya? Orang tidak selalu dapat mengerti awal dan akhir sebuah pekerjaan politik. Orang tidak dapat mengerti dengan mudah mengapa Franklin Delano Rosevelt yang sakit-sakitan tetap menjadi calon presiden Amerika tahun 1933. Apalagi pada tahun itu, Amerika Serikat sedang berada di puncak krisis keuangan, yang dipicu oleh jagoan-jagoan keuangan di Wall Street.

Ya, memang tidak mudah juga orang mengerti mengapa Franklin D. Rosevelt mengabaikan gagasan “balanced budget” dari Henry Morgentahu Jr, menteri keuangannya. Tak selalu mudah juga orang dapat mengerti mengapa Franklin D. Rosevelt justru lebih merespons gagasan “permanent deficit budget” ala Harry Hopkins, Merriner Eccless, dan Henry Walace, penasihat-penasihat dekatnya.

Mengapa Felix Frankfurter – pria terhormat dari Harvard Law School ini, yang juga merupakan seorang penasihat FDR, harus jumpa dengan John Meynard Keynes? Mengapa sebelum jumpa John, ia harus lebih dahulu ke Inggris? Apakah John adalah pria Inggris, dengan ilmu ekonomi top? Apakah John seorang socialis democrat, sama dengan FDR? Tak jelas memang.

Namun faktanya setelah pertemuan antara Felix dengan Keynes, muncul artikel Keynes di New York Times. Artikel ini berisi, secara garis besar, cara menangani krisis keuangan. Usai artikel itu terbit, Felix pun menunjukannya ke Presiden, dan segera setelah itu Keynes pun jumpa dengan Presiden Franlink D. Rosevelt. Setelah jumpa Presiden,  ekonomi dan tata negara Amerika berjalan menyusuri alur yang tersedia dalam gagasan Keynes. 

Perihal tidak mudahnya menemukan alasan-alasan tepat dibalik bekerjanya politik, juga terlihat dalam kasus lain. Mengapa John F. Kennedy, pria muda, tampan dan pintar, sebagai orang Katolik pertama dalam sejarah kepresidenan  Amerika, mengikuti dan memenangkan pemilu Presiden Amerika Tahun 1961.

Lalu kemudian mengapa kemudian Lee Harvey Oswald menembaknya Kenedy di Dalas, Texas? Mengapa Komisi Warren yang ditugaskan menyelidikinya pun tak dapat menyedikan jawaban kongklusif hingga kini? Mengapa Lee Harvey Oswald harus mati beberapa jam sesudah menembak Kenedy, presiden tampan ini? Tak jelas hingga sekarang.

Dan tak mudah juga mengerti mengapa Henry Kisingger, pria kelahiran Jerman, yang dikenal begitu hebat dalam urusan diplomasi ini, tak  respek terhadap Richard Nixon, bosnya sendiri? Mengapa ia begitu berkuasa di gedung putih? Mengapa Richard Nixon dikuras energi politiknya untuk mengurus masalah Timur tengah dibanding mengurus Watergate yang sedang melilitnya? Tak jelas hingga kini. Begitulah politik?

                             ****

Tampilan politik kekuasaan untuk sejumlah alasan, tak beda dengan gambaran dramaturgi. Yang tampak tak selalu mewakili yang tak tampak. Yang terlihat tak selalu mewakili yang tak terlihat. Apa yang diucapkan tak selalu sama dengan yang tak diucapkan. Tindakan tidak selalu sama dengan isi pikiran dan ucapannya.

Lalu bagaimana merindukan hadirnya kekuasaan, yang menurut orang-orang arif, memanusiakan manusia? Adakah sejarahnya? Sejarah pemerintahan dalam khasanah Islam mencatat beberapa di antaranya. Kehebatan, bahkan kegemilangan mereka dalam hampir semua aspek, dipandu dengan kepastian tak terbantahkan bahwa semua itu ditentukan oleh derajat pertalian ketat antara hati, otak dan tindakan dengan tuntunan Sang Khaliq.

Tak tinggi hati, karena tahu itu hanya menghasilkan keburukan demi keburukan, menjadi penanda mengagumkan Umar Bin Abdul Azis dan Harun Ar-Rasyid,  dua pemimpin top dalam khasanah pemerintahan Islam. Tak mengabaikan rakyat kecil, memandu diri mereka dengan keadilan yang belum terlihat setelah masa Khulafa Ar-Rasyidin, adalah warna personal mereka di sepanjang jalan pemerintahannya yang gemilang.

Keduanya sangat takut pada Allah Azza wa Jallah, Dia yang Maha Agung, yang penglihatannya tak memiliki hambatan, yang pengetahuannya menembus semua tirai, yang keadilannya tak memiliki cacat, menjadi hiasan lain yang mengagumkan diri mereka.

Dia juga tak menumpuk harta saat berkuasa, termasuk untuk sekadar berjaga-jaga, membekali anak-anaknya, atau hal lain buruk lainnya yang terbit dariisisi lain kepribadian mereka sejauh itu.  Adil, cinta damai, cinta kemanusiaan tanpa pandang ras dan agama, itulah Umar Bin Abdul Aziz yang seornag pemuda tampan dan kaya sebelum memangku kekuasaan sebagai khalifah. 

Dari sanalah sejarah menemukan kenyataan sebelum dirinya diangkat jadi khalifah. Umar bertekad, bukan sekadar mengubahnya, tetapi mengkahirinya ketika kekuasaan ada pada genggamannya. Dia tahu hembatan besar disepanjang jalan rencana reformasi strukturalnya yang fundamental.

Maka, Umar pun membebani dirinya dengan satu tekad membaja; dirinyalah yang pertama kali harus berubah. Dirinya harus jadi teladan. Teladan itu disajikan sebagai metode mematikan antipati, sesuatu yang telah begitu kuat tertanam dalam kehidupan politik penguasa sebelumnya.

Itulah yang diyakinkan pada diri Umar sebagai prasyarat tak tergantikan untuk meraih sukses yang diimpikannya. Sangat tipikal, ia komit dengan tekad itu. Ia tahu lebih dari siapapun kala itu, bahwa Al Hajaj, pendahulunya yang pendendam pada lawan-lawannya. Ia tahu itu menjadi penyebab terbesar lain terjadinya kekacauan demi kekacauan dalam wilayah kerajaan.

Tipikal pria sholeh, juhud terhadap tipuan dunia, dan Umar membuktikan kebesarannya melalui tindakan. Seolah mengatakan tindakanlah yang mendefenisikan siapa anda sebenarnya. Umar konsisten dengan itu. Ia mengubah penampilan, terutama berpakaian dari sebelumnya yang wah menjadi sangat sederhana.

Keluhuran martabat, dengan pengetahuan dan ilmu membawanya ke kebijaksanaan yang tak pernah terlihat pada pemerintahan-pemerintahan sebelumnya. Salah urus kas kerajaan, dengan cara mengambil harta kerajaan membagi-baginya kepada sanak keluarga dan penyokong kerajaan, ditandai sebagai akibat yang menyumbang kerusakan dan melemahkan kerajaan. Ia hentikan praktik itu.

Tidak ada main rampas dan sita, itulah Umar. Adil pada siapa saja, termasuk yang beragama Kristen, itu juga Umar. Cintanya pada oran-orang lemah, yang diperlakukan dhalim oleh pendahulu membawa dirinya pada tindakan perbaikan secara radikal. Harta orang yang diambil secara tidak sah oleh kerajaan, diharuskan untuk dikembalikan kepada yang berhak.

Umar menukar satu tawanan muslim dengan sepuluh tawanan Romawi, yang memang jumlahnya banyak. Ia cinta Islam, tetapi tidak mau prajurit diperalat untuk mendapat harta rampasan, termasuk tawanan wanita. Memperlakukan budak sesuai perintah Islam, ditemukan sebagai tipikal lain Umar, Khalifah juhud ini. Anak-anak gadis beragama Kristen yang ditawan, dan diperlakukan sebagai budak, dilepas.

Umar mendekorasi dirinya, tidak hanya dirinya dengan kejuhudan, tetapi juga pemerintahannya dengan keadilan khas orang-orang juhud. Itu sebabnya orang-orang Kristen tak ragu mengadukan masalah-masalah mereka kepadanya. Umar juga menghapus pajak penduduk Cyprus dan Ilea. Kaum Kristen, karena itu menurut Yusuf Al ‘Isy, menganggap Umar sebagai raja Agung yang adil, dan memujinya dengan banyak pujian.

Terhadap kaum Alawiyin, Umar mengembalikan harta-harta mereka yang dirampas oleh pemerintahan sebelumnya. Itu dilakukan sebelum pengaduan mereka mendatanginya. Tanah yang penah diwakafkan oleh Rasulullah Sallallahi Alaihi Wasallam, yang pernah diminta kembali oleh Fatimah, tetapi ditolak pada masa Khalifa Abubakar dibiarkan tetap seperti sediakala, justru diambil oleh Marwan.

Tanah itu lalu beralih ke Umar sebelum menjadi Khalifah. Ketika tahu status tanah itu, Umar mengembalikannya seperti yang diwasiatkan oleh Rasulullah Sallallahu Aalaihi Wasallam. Tanah itu dijadikan sedekah kepada bani Hasyim.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement