REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A.Taufiq Imron
Shalat berjamaah tidak hanya memberikan pahala yang berlipat ganda kepada pelakunya. Ibadah itu juga bisa dijadikan pelajaran atau memilik hikmah tentang bagaimana seharusnya kita hidup bermasyarakat. Hal ini terutama dalam kaitannya dengan hubungan antara pemimpin (imam) dan yang dipimpin (makmum).
Minimal ada empat pelajaran mengenai kehidupan bermasyarakat yang bisa kita petik dari shalat berjamaah. Pertama, kriteria utama menjadi imam dalam shalat adalah keahlian, yakni yang lebih berhak menjadi imam adalah yang paling ahli mengenai kandungan Alquran dan hadis.
Di sini tampak bahwa demokrasi ala shalat berjamaah dalam memilih pemimpin bukan berorientasi kepada kepopuleran sang calon. Orientasinya lebih kepada keahlian. Ini berbeda dengan banyak sistem politik demokrasi, di mana akibat prinsip "suara mayoritas yang menentukan", maka seorang pemimpin bisa terpilih hanya karena popularitas.
Kedua, kriteria bagi imam shalat berjamaah adalah wawasan yang luas dan integritasnya pada Islam. Bila terjadi bahwa di antara para calon imam, ternyata sama-sama ahli tentang kandungan Alquran dan hadis, maka harus dilihat siapa di antara mereka yang mempunyai wawasan dan integritas yang lebih pada Islam.
Ini sangat tampak pada pemilihan pemimpin umat Islam, sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Empat Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), semuanya berasal dari suku Quraisy. Mereka dipilih umat Islam menjadi Khalifah (pemimpin), karena dinilai telah teruji wawasannya, loyalitasnya, serta integritasnya kepada Islam. Di antaranya, mereka merupakan kelompok pertama yang memeluk Islam, dan kemudian ikut berjuang bersama Nabi SAW dengan jiwa dan raganya.
Ketiga, kreteria seorang imam shalat harus bersedia dikoreksi. Hal itu terlihat tatkala sang imam melakukan kesalahan dalam bacaan shalatnya, maka makmum (rakyat) harus membenarkan bacaannya.
Kemudian, apabila imam salah langkah (kurang atau lebih gerakannya) dalam memimpin shalat berjamaah, maka makmum harus mengingatkan dengan membaca ''Subhanallah''. Mendengar bacaan tersebut, sang imam harus mawas diri dan menyadari bahwa ia telah salah langkah dan segera memperbaikinya.
Keempat, imam yang batal harus bersedia mundur dan mempersilakan salah seorang makmum di belakangnya untuk menggantikannya menjadi imam, meskipun masa jabatannya (sebagai imam shalat) belum berakhir.