Kamis 26 Mar 2020 08:55 WIB
Perang Aceh

26 Maret 1873: Perang Aceh Dimulai

Kisah awal perang Aceh

Pembantaian penduduk di Gayo Alas dalam Perang Aceh. pemimpin pembantaian itu adalah Van Daalen.
Foto:

Di sini kekacauan pun muncul. Perang Aceh tersulut di tangan para provokator. Panglima Tibang Muhammad, Syahbandar Aceh yang diberi kewenangan atas nama Sultan Aceh membuat perjanjian dengan negeri lain terperangkap dalam permainan licik. Seorang petualang politk, Teuku Muhammad Arifin, yang sebenarnnya bekerja untuk Konsul Jenderal Belanda di Singapura, William H.M. Read. Arifin menyarankan kepada Panglima Tibang untuk meminta bantuan Amerika Serikat.

Kedudukan Amerika Serikat di Singapura diwakili oleh Konsul Jenderal-nya, Major Studer. Arifin yang mengenal Studer segera menyambungkan Panglima Tibang dengan Studer. Arifin membawa Panglima Tibang dua kali pada Studer di bulan Januari 1873.

Tibang pun menjelaskan kedudukannya sebagai wakil Aceh dan menawarkan keinginan Amerika Serikat, yaitu perjanjian ekstra-teritorial dan proteksi tarif untuk tekstil Amerika. Major Studer hanya meminta Panglima Tibang memenuhi tata cara untuk berhubungan dengan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat. Panglima Tibang menyambut antusias tanggapan ini dan berjanji pada Studer untuk kembali secepat mungkin ke Singapura membawa dokumen yang diperlukan.

Tanpa disangka siapa pun, Muhammad Arifin menceritakan pertemuan Panglima Tibang dengan Studer kepada tuannya, Konsul Jenderal Belanda di Singapura, William Read. Di sinilah rantai provokasi dimulai. Read kemudian memanfaatkan informasi Arifin dengan mengirim sebuah telegram dramatis pada 15 Februari 1873 kepada James Louden, Gubernur Jenderal Batavia.

Read mengatakan bahwa dia telah menemukan “perselingkuhan-perselingkuhan yang amat penting” antara utusan Aceh (maksudnya Panglima Tibang), para konsul Amerika serta Italia. Read mengatakan Studer telah mengajukan kepada Laksamana Armada Amerika Serikat, yang dapat muncul di Aceh dalam waktu dua bulan. Konsul Italia sedang menantikan surat dari Sultan Aceh dan kapten Racchia, yang sedang berada di Singapura segera akan berangkat ke Aceh dengan kapal perang.

Drama provokatif dan manipulatif ini tidak berhenti sampai di sini. Read mengaku mendapat informasi bahwa Studer telah mengirimkan konsep Traktat Amerika – Aceh sebanyak dua belas pasal, termasuk pasal hak dagang istimewa, pertukaran wakil dan perlindungan dari “tindakan-tindakan permusuhan.”

Belum cukup, Read mengaku mendapat informasi bahwa ada instruksi-instruksi dari Studer kepada Tibang tentang rencana pertahanan yang menyebutkan Amerika dan Aceh akan bersama-sama menghancurkan Belanda, jika Belanda menyerang Aceh. Nyatanya hanya ada satu dokumen yang memuat tanda tangan Studer. Yaitu sebuah surat bertanggal 1 maret 1873 yang ditujukan kepada Panglima Tibang. Isinya: Surat yang disebut Studer atas permintaan Arifin. Studer juga mendoakan agar keluarga dan sahabat panglima Tibang selamat.

Telegram dramatis Read benar-benar efektif. James Louden adalah orang yang sejak awal menghendaki perang dengan Aceh. Louden pun meneruskan informasi ini kepada Fransen van de Putte. Kabar ini dijawab van de Putte ;

“Kalau anda tidak meragukan kebenaran berita konsul Singapura, tidak boleh ragu-ragu lagi. Akan mengirimkan angkatan Laut yang kuat ke Aceh untuk meminta kejelasan dan pertanggungjawaban untuk sikap bermuka dua dan berkhianat dan menentukan sikap Belanda terhadap Aceh sesuai dengan itu. Bila itu tidak dipenuhi secara memuaskan, angkatan perang harus dikerahkan…”

Pesan van de Putte jelas, Aceh dituntut untuk menunjukkan niat baiknya dengan mewajibkan mereka menandatangani perjanjian, yang memang sudah lama menjadi tujuan Belanda. Pesan ini diartikan Loudon dengan sangat kasar. Ia meminta Raad van Indie mengirimkan seorang komisioner ke Aceh secepat mungkin. Komisioner ini akan ditemani empat batalion dan diberi misi yang jelas: Akui Belanda sebagai kekuasaan berdaulat atau perang.

4 Maret 1873, J.F.N Nieuwenhuyzen berangkat ke Aceh sebagai wakil dari Batavia menuntut Aceh agar “…mengakui kedaulatan Belanda dalam waktu 24 jam, dan untuk menyatakan perang jika tuntutan kita tidak dipenuhi.” James Loudon begitu yakin, saat itu adalah momentum yang tepat untuk menindak Aceh. Menurutnya,”Kebijakan Aceh yang membingungkan mengenai Pemerintah Belanda harus diakhiri. Negeri itu tetap merupakan titik lemah kita sepanjang menyangkut Sumatera. Selama negeri itu tidak mengakui kedaulatan kita, campur tangan asing akan terus mengancam kita seperti pedang Damocles…”

Hasil gambar untuk Perang Aceh

Alasan campur tangan asing segera tampak tak masuk akal. Italia segera menyangkal tuduhan mereka terlibat membantu Aceh. Begitu pula desas-desus Amerika akan ikut campur juga tak terbukti. Namun Loudon tetap tak bergeming.

Nieuwenhuyzen tiba di Aceh 22 Maret. Ia menunggu jawaban Sultan Aceh selama 24 jam. Keesokan harinya, Sultan Aceh menjawab pertanyaan Nieuwenhuyzen. Ia mengatakan ingin hidup damai dengan Pemerintah Belanda. Ia juga mempertanyakan kesepakatan sebelumnya dengan wakil Belanda di Riau bahwa mereka sudah setuju untuk mengundurkan kunjungan Belanda selama enam bulan. Tanpa menyinggung soal pertemuan Tibang dengan wakil Amerika, Sultan lantas bertanya dalam surat balasannya, “Apa kalau begitu salah kami?”

Niuwenhuyzen menganggap Sultan hanya mengulur-ulur waktu. Tanggal 26 Maret 1873, kapal Belanda yang ditumpangi Nieuwenhuyzen, Citadel van Antwerpen mulai menembakkan peluru Meriam ke sebuah benteng Pantai Aceh sebagai tanda pernyataan perang. Sebab, “Aceh dianggap telah bersalah melanggar perjanjian niaga, perdamaian, dan persahabatan yang dibuat pada tanggal 30 Maret 1857 antara Aceh sendiri dan Pemerintah Hindia Belanda.”

Tak lama setelah itu pernyataan perang resmi dikirimkan Belanda sebagai pemberitahuan kepada negara-negara Eropa yang lain.Perang Aceh telah pecah. Nafsu Belanda yang mengangkangi Traktat London, diikuti manuver dalam Traktat Sumatera menandakan Belanda memang berambisi menguasai Aceh sejak lama. Lagipula Traktat Sumatera dibuat tanpa mempedulikan para penguasa di Sumatera, termasuk Aceh. Maka desas-desus ‘kasus’ Tibang dengan Studer hanyalah dalih saja. Di balik serangan terhadap Aceh, tersimpan keuntungan yang sangat menggoda.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement