Kamis 26 Mar 2020 08:55 WIB
Perang Aceh

26 Maret 1873: Perang Aceh Dimulai

Kisah awal perang Aceh

Pembantaian penduduk di Gayo Alas dalam Perang Aceh. pemimpin pembantaian itu adalah Van Daalen.
Foto:

Kedamaian di antara wilayah-wilayah yang dipimpin oleh Uleebalang tergantung pada kekuasaan Sultan. Pada akhir abad ke-19, kekuasaan Sultan sudah merosot. Hal ini memicu ketidakstabilan. Meski terjadi kemerosotan kekuasaan, namun Aceh tetap menjadi wilayah yang berdaulat pada abad ke 19. Pelayaran yang melintasi kekuasaan Aceh menjadi sumber pemasukan bagi Kesultanan. Kekuasaan Asing yang bercokol di antara Aceh adalah Inggris dan Belanda yang saling bersaing.

Persaingan dagang antara Inggris dan Belanda di beberapa wilayah di Asia Tenggara akhirnya diselesaikan dengan satu perjanjian Anglo-Dutch Treaty atau dikenal dengan Traktat London pada 17 Maret 1824. Belanda akhirnya mengakui kepemilikan Inggris atas Singapura dan menyerahkan Malaka untuk Inggris. Sebaliknya, Inggris menyerahkan Bengkulu (Bencoolen) dan kekuasaan di Sumatera pada Belanda. Sebagai tambahan, kedua belah pihak tidak boleh membuat perjanjian dengan penguasa di wilayah itu.

Traktat ini menyisakan satu persoalan. Bagaimana dengan Aceh yang memiliki posisi penting di Selat Malaka? Traktat itu akhirnya disepakati untuk memberi hak pada Belanda untuk menegakkan keamanan di Aceh namun tetap menghormati kedaulatan Aceh.

Tentu saja Traktat ini dibuat tanpa mengajak bicara para penguasa di Sumatera. Satu arogansi Bangsa Barat yang menganggap Sumatera dan manusianya semacam komoditas belaka. Merespon Traktat London dan penyerahan Bengkulu pada Belanda, Sultan Bengkulu kemudian marah dan mengatakan:

“Saya memprotes pemindahan kekuasaan ini. Siapa mereka yang merasa miliki kekuasaan untuk menyerahkan negeriku dan orang-orangnya, seperti binatang ternak, menyerahkan kepada Belanda atau kekuasaan lain? Jika Inggris sudah lelah dengan kami, biarkan mereka pergi; tapi saya menolak hak untuk menyerahkan kami pada Belanda.” 

photo
Pasukan Morsase (Pasukan Khusus) Belanda sewaktu perang Aceh. - (Gahtena.nl)

Aceh yang Memikat dan Mengganjal

Sejak awal abad ke-16 Aceh sudah menarik pedagang dari berbagai belahan dunia seperti Eropa, India, Timur Tengah, Cina hingga Amerika. pada abad ke-19, Aceh menjadi penghasil lada terbesar di dunia. Lada telah membuat para Uleebalang dan pemilik lahan tanaman lada menjadi sangat kaya. Pada abad ke-18, Aceh menjadi sangat strategis bagi negara-negara Eropa terutama Inggris, Belanda dan Perancis. Bagi Inggris khususnya, Aceh bukan hanya penting bagi perdagangan, tetapi juga pangkalan pelayaran untuk menguasai Samudera Hindia dan Selat Malaka.

Pada 1771, 1772 dan 1782 Inggris pernah mencoba untuk membujuk Aceh agar memberikan izin untuk menjadi pangkalan pelayaran dan komersial mereka. Meski pada akhirnya Inggris memilih Penang, namun posisi Aceh tetap penting bagi perdagangan Inggris di Asia Tenggara. Begitu pula sebaliknya. Penang menjadi gerbang Aceh untuk memasarkan produknya terutama lada ke seluruh dunia.

Bagi Belanda yang bersaing ketat dengan Inggris dalam geopolitik di Asia Tenggara, Aceh tampak menggiurkan. Traktat London memang mewajibkan Inggris maupun Belanda menghormati kedaulatan Aceh. Namun satu kejadian di tahun 1856 mengubah peta kekuasaan.

Konflik internal Kesultanan Siak di Sumatera Timur berujung pada masuknya kekuatan asing ke dalam Kesultanan tersebut. Perebutan tahta Sultan Ismail dan kakaknya, Tengku Putra membuat Sultan Ismail meminta bantuan Belanda untuk mengalahkan kakaknnya. Belanda berhasil membuat kesepakatan-kesepakatan dagang dan politik yang menguntungkan. Tampuk kedaulatan sekarang dalam genggaman Belanda. Siak menjadi wilayah di Sumatera Timur yang bertekuk lutut di bawah Belanda, bersama Langkat, Deli dan Asahan Utara sampai ke Sungai Kampar di Selatan- di seluruh pantai seberang Malaka, kecuali Aceh.

Intervensi politik Belanda di Siak merusak persahabatan Belanda dengan Aceh yang sebelumnya ditandatangani Jenderal J. Van Swieten pada Mei 1857. Pada tahun 1862, Belanda lewat Residen Riau, mencoba membujuk agar Aceh mengakui Siak di bawah kedaulatan Belanda. Bujukan ini dijawab Aceh dengan mengirim armada perang kecil. Bayangan akan perang sudah mulai terlihat.

Sumatera Timur memang menjadi primadona baru. Di Deli, Kesultanan Deli akhirnya mengakui kedaulatan Belanda. Segera setelah itu, konsesi untuk perkebunan tembakau diberikan kepada Belanda oleh Sultan Mahmud. Kemudian ledakan keajaiban terjadi. Mutu tembakau Deli laku di pasar Eropa. Pada 1870 didirikan Deli Maatschappij. Perusahaan perkebunan modern pertama di Hindia Belanda, menangguk untuk yang luar biasa. Begitu luar biasanya perkembangan di Sumatera Timur sehingga, “…dalam waktu singkat tercipta keadaan Timur Liar yang tiada terlukiskan, merupakan dorongan terkuat yang dapat dibayangkan untuk menghapuskan Tanam Paksa. Barangsiapa bisa menghitung dengan angka-angka Deli, tidak perlu lagi mempersoalkan saldo laba.”

Zaman baru pun telah tiba. Pada 1869 terusan Suez dibuka. Perhubungan dengan Eropa menjadi lebih singkat. Pelayaran dapat ditempuh dari empat bulan, menjadi hanya lima pekan. Kedudukan Sumatera menjadi lebih penting. Sejak dibukanya Terusan Suez, pelayaran dari Eropa ke Asia Timur tidak lagi melalui selatan, yaitu Selat Sunda, tetapi lewat Aden dan Kolombo, melalui Selat Malaka. Hal ini juga menyebabkan jalur Selat Malaka ke Cina menjadi penting dan kedudukan Aceh semakin strategis.

Bagian terbesar pantai timur Sumatera memang telah dibawah pengaruh Belanda, tetapi di ujung Utara, masih bercokol kekuasaan Aceh. Inilah halangan terbesar nafsu Belanda menangguk keuntungan. Bayangan keuntungan atas negeri penghasil lada terbesar di dunia, penguasaan Sumatera dari utara sampai sepanjang pantai timur dengan limpahan hasil kebunnya serta jalur strategis pelayaran ke Asia Timur tak lagi dapat dibendung. Traktat London yang menghalangi politik intervensi harus segera disingkirkan. Setidaknnya Aceh harus dapat di –Siak-kan.

Traktat London adalah penghalang utama ambisi Belanda. Oleh sebab itu mereka terus berupaya mendekati Inggris agar merevisi pasal-pasal dalam perjanjian tersebut. Bola kini berada di tangan Inggris. Inggris awalnya bersikap gamang. Mereka masih belum menentukan sikap atas niat Belanda. Sejak awal Inggris memang tidak peduli dengan nasib Aceh.

Pertimbangan utama Inggris adalah kepentingan dagang mereka di Semenanjung Malaya (Straits Settlements). Wakil Menteri Kolonial Inggris, Buckingham mengatakan,

“…berarti ada implikasi bahwa jika kita membuat perjanjian dengan Belanda maka kita akan mengatur mengenai Aceh tanpa meminta pendapat atau persetujuan Sultan Aceh. Langkah seperti ini…jelas akan dapat dijadikan alasan yang sah oleh Sultan Aceh untuk mengadakan perjanjian dengan negara-negara asing lain dan untuk memutuskan hubungan dengan kita – Sedangkan sementara itu pelabuhannya penting untuk perdagangan kita di India.”

Keadaan segera berubah dengan kehadiran Sir Harry Ord di tahun 1867. Seorang pejabat kolonial Inggris di Semenanjung Malaya (Straits Settelements) yang bukan saja tidak peduli dengan nasibnya Aceh, tetapi juga mendukung Belanda dalam persoalan di Aceh. Dapat dikatakan ia adalah salah satu dari perumus utama dalam pasal-pasal mengenai Aceh dalam Perjanjian Sumatera nantinya. Inggris sendiri menjadikan Aceh sebagai alat tawar menawar dalam rangka memperoleh konsesi pajak. Selain itu Belanda menawarkan wilayah mereka di Pantai Emas di Ghana kepada Inggris dalam bentuk perjanjian lainnya.

Di satu hari, musim panas 1869, de Waal, Menteri Jajahan Kerajaan Belanda mencoba membuka jalan membujuk Inggris. De Waal berunding bersama Duta Besar Inggris untuk Belanda yang kebetulan bertemu saat sedang jalan-jalan di Taman Bosch, Den Haag, Belanda. De Waal menawarkan Pantai Emas di Ghana dan perubahan tarif ganda di Sumatera. Imbalannya, Inggris membantu Belanda dalam dua hal; pengerahan buruh kontrak di Hindia Inggris untuk Suriname dan kelonggaran dalam masalah Aceh. Disinilah Harry Ord berperan.

Colonial Office Inggris pun meminta pendapat Gubernur Singarpura tersebut. Tentu saja ia mendukung keinginan Belanda. Pada 9 Desember 1869, ia menyatakan direbutnya Aceh oleh Belanda akan menguntungkan perdagangan Inggris. Berkali-kali pembicaraan terjadi. Namun kesepakatan baru tercapai pada tahun 2 November 1871. Inggris dan Belanda sepakat menandatangani Traktat Sumatera. Pasal pertama, pasal yang paling krusial menyangkut nasib Aceh. Pasal tersebut mencabut keberatan Inggris mengenai perluasakn kekuasan Belanda di mana saja di Sumatera.

“Her Brittanic Majesty desist from all objections against the extension of the Netherland Dominion in any part of the Island of Sumatera, and consequently from the reserve in that respect contained in the notes exchanged by the Netherland and British Pleinipontetiaries at the conclusion of the treaty of 17 March 1824.”

Bagaimana pun, Traktat ini hanya merealisasikan keinginan Belanda untuk menaklukkan Aceh. Hal itu misalnya dapat dilihat dari surat De Waal pada Gubernur Jenderal pada masa itu, yang menyatakan bawha Batavia harus bersiap menghadapi kemungkinan pecahnya perang. Para politisi Belanda terbelah dua tentang cara menangani Aceh: Raad van Indie, semacam dewan penasehat untuk Gubernur Jenderal Belanda di Batavia, menolak cara-cara yang agresif. Mereka menganggap Sultan Aceh dapat dijadikan sekutu dan kelak dibuat bergantung pada Belanda. Menawarkan Sultan perlindungan bantuan wilayah-wilayah yang memberontak padanya di Idi.

Di seberang Raad van Indie, ada kubu Fransens de Putte dan James Loudon. Menteri Jajahan Kerajaan Belanda dan Gubernur Jenderal Belanda di Batavia yang ingin segera menyingkirkan Sultan Aceh. Loudon ingin mendukung Idi dan pemberontak-pemberontak lain melawan Sultan [Reid, 2005: 96]. Fransens de Putte menolak ‘usul bodoh’ Raad van Indie dan mendesak tindakan yang lebih tegas membela kerajaan-kerajaan di Pantai Aceh melawan Sultan.

 

  • Gubernur Jenderal Hindia Belanda James Loudon. Sumber foto: Koleksi Digital KITLV (http://hdl.handle.net/1887.1/item:786979)

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement