REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Solidaritas kemanusiaan dan keagamaan selalu muncul di setiap terjadinya konflik, seperti konflik sektarian di India dan tindakan kekerasan yang dialami kelompok minoritas Rohingya di Myanmar. Namun solidaritas itu hendaknya dikelola dalam perspektif positif dalam membantu penyelesaian konflik tersebut sekaligus mewujudkan perdamaian dan ketenteraman antar umat manusia.
Anggota Komisi VIII DPR RI KH Maman Imanulhaq mengatakan, solidaritas kemanusiaan merupakan hubungan emosioanal yang terbangun karena rasa saling percaya antara manusia yang menumbuhkan sikap saling menghormati, saling menjaga dan bertanggung jawab satu sama lain tanpa didasari atas isu primordial tertentu, entah itu identitas keagamaan, kesukuan, kebudayaan, etnisitas, dan sejenisnya.
“Solidaritas kemanusiaan bersifat universal, tanpa sekat, tidak berstandar ganda, tidak tebang pilih, apalagi bermuatan kepentingan primordial dan politis,” ujar Kang Maman, panggilan karib KH Maman, Kamis (12/3).
Dalam Islam, lanjut Kang Maman, solidaritas kemanusiaan pesan utamanya adalah ihsan, yaitu berbuat baik pada sesama. Dengan dasar itu, ia menilai wajar bila respons sejumlah ormas Islam di Indonesia atas isu-isu sosial-keagamaan yang menimpa Rohingya dan umat Islam di India. Kendati demikian, sikap itu harus dilandasi pemikiran yang rasional dan dingin dengan semangat menjaga kedamaian.
"Tidak boleh ada kekerasan oleh siapapun, kepada siapapun dan atas nama apapun, apalagi atas nama agama,” tuturnya.
Anggota Badan Kajian MPR RI itu juga mengimbau agar bangsa Indonesia tetap harus menjaga semangat Bhinneka Tunggal Ika, terutama menyikapi masih maraknya intoleransi dan radikalisme. Menurutnya, intoleransi dan radikalisme adalah virus yang muncul karena sikap tidak adil dan benih kebencian pada orang yang dianggap berbeda.
“Virus ini lebih bahaya daripada Covid-19. Karena itu umat Islam harus tampil sebagai ummatan wasathan yang toleran, adil dan cerdas hingga mendorong terwujudnya peradaban manusia yang beradab dan damai,” terang kang Maman.
Untuk itulah, ia mengajak umat Islam agar jangan terjebak politik identitas yang mengeksploitasi sentimen fanatisme identitas untuk meraih simpati publik. Apalagi fenomena ujaran kebencian, fitnah dan berita palsu sangat identik dengan gerakan politik identitas ini.
“Mereka berselancar di atas itu sentimen fanatisme keagamaan yang dibungkus dengan narasi kebencian dan anti-perdamaian, sesuatu yang bertolak belakang dengan subtansi agama Islam sebagai agama damai yang mendorong umatnya menyebarkan kedamaian,” kata anggota Dewan Syura PKB itu.