REPUBLIKA.CO.ID, Bersembunyi di balik tameng Hak Azasi Manusia (HAM), Amerika Serikat (AS) dan sekutunya telah menginvasi Afganistan dan Irak. Dengan mengibarkan slogan pembebasan, demokratisasi, dan penegakan HAM antara kedua negara Muslim itu luluh lantak dihajar rudal, bom dan senjata-senjata mutakhir pasukan sekutu tanpa ampun.
Namun, di tengah deru letusan senjata dan rudal serta darah terus mengalir di Timur Tengah, di bagian dunia lain isu HAM dan hak wanita kini tengah ramai diperbincangan. Cendikiawan Islam di abad ke-20, Syed Abu Al A’la Al Maududi, dalam 'Human Right in Islam' menyatakan, dalam perspektif Islam, HAM adalah karunia yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia.
''HAM bukanlah sesuatu yang dianugerahkan seorang raja atau lembaga legislatif yang kemudian mereka dapat menariknya kembali dengan cara yang sama,'' ungkap Syed Maududi.
Menurut Syed Maududi, Barat selalu mengklaim bahwa konsep HAM berasal Magna Carta (Piagam Besar). Magna Carta adalah Piagam Inggris pada 1215 yang membatasi kekuasaan Monarki Inggris, terutama Raja John, dari kekuasaan absolut.
Magna Carta adalah hasil dari ketidaksetujuan antara Paus dan Raja John dan baronnya atas hak raja: Magna Carta mengharuskan raja untuk membatalkan beberapa hak dan menghargai beberapa prosedur legal, dan untuk menerima bahwa keinginan raja dapat dibatasi oleh hukum.
''Hingga abad ke-17 tak ada orang yang tahu bahwa Magna Carta mengandung prinsip-prinsip Trial by Jury, Habeas Corpus dan Control of Parliament on the Right of Taxation. Jika para pembuat Magna Carta masih hidup saat ini, mereka akan benar-benar terkejut, jika yang mereka ungkapkan dalam dokumennya itu mengandung ide-ide dan prinsip ini,'' sindir Syed Maududi.
Sejatinya Magna Carta baru lahir setelah enam abad Islam menyebar di muka bumi. Menurut Syed Maududi, sebenarnya pula orang-orang Barat tak mengenal konsep HAM dan hak kewarganegaraan sebelum abad ke-17. Konsep HAM dan hak kewarganegaraan di Barat, papar dia, baru muncul pada akhir abad ke-18 dalam proklamasi dan konstitusi Amerika dan Prancis.
Pada pertengahan abad ke-20, tepatnya pada Desember 1948 - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) kemudian mendeklarasikan Universal Declaration of Human Rights (UDHC) atau Deklarasi Universal HAM. ''Hak-hak yang berikan dalam secarik kertas, pada kenyataannya tak berlaku demikian dalam kehidupan nyata,'' komentar Syed Maududi.