Kamis 27 Feb 2020 21:33 WIB

OKI Kecam Kekerasan Muslim-Hindu di New Delhi India

Kekerasan Muslim-Hindu di India memakan puluhan korban jiwa.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nashih Nashrullah
Massa pendukung UU Kewarganegaraan baru India melemparkan bom molotov ke arah bangunan masjid di New Delhi, India, Senin (24/2).
Foto: Danish Siddiqui/Reuters
Massa pendukung UU Kewarganegaraan baru India melemparkan bom molotov ke arah bangunan masjid di New Delhi, India, Senin (24/2).

REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI – Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) mengecam aksi kekerasan di New Delhi, India, yang telah menewaskan setidaknya 34 orang. Kerusuhan di sana dipicu aksi demonstrasi menentang Undang-Undang Kewarganegaraan atau Citizenship Amandement Act (CAA) yang dianggap anti-Muslim. 

"OKI mengutuk kekerasan baru-baru ini dan mengkhawatirkan Muslim di India, mengakibatkan kematian dan cedera orang-orang tak berdosa, pembakaran serta perusakan masjid dan properti milik Muslim," ujar OKI melalui akun Twitter resminya, Kamis (27/2). 

Baca Juga

OKI mengungkapkan belasungkawa kepada para korban sebagai hasil dari tindakan keji tersebut. "OKI menyerukan pihak berwenang India membawa penghasut dan pelaku dari tindakan anti-Muslim ini ke pengadilan serta memastikan keselamatan dan keamanan semua warga Muslim dan perlindungan tempat-tempat suci Islam di seluruh negeri," ujarnya. 

Hingga Kamis, ketegangan masih membekap New Delhi. Komunitas Hindu dan Muslim di sana telah mendirikan barikade. Editor media Scroll, Supriya Sharma, sempat mengunggah pemandangan itu melalui akun Twitter pribadinya.  

Warga membangun barikade menggunakan bentangan bambu dan seng. "Ini adalah pemandangan jalan Brahmpuri di Delhi. Di satu sisi sebagian besar rumah (warga Hindu), di sisi lain, Muslim. Kedua komunitas telah memasang barikade. Untuk mecegah yang lain," kata Sharma, dikutip laman Aljazirah. 

Saat kerusuhan berlangsung, rumah-rumah warga Muslim yang ditinggalkan memang menjadi sasaran penjarahan. Bangunannya merupakan target serangan massa. 

Dewan Pusat Pendidikan Menengah India telah memutuskan menunda ujian kelas 10 dan 12 di New Delhi timur yang dijadwalkan dilaksanakan pada 28-29 Februari. Mereka juga tengah melacak siswa/i yang tak dapat mengikuti ujian karena terdampak kekerasan dan kerusuhan. 

Dushyant, seorang pengacara dan aktivis yang telah terlibat dalam operasi bantuan serta penyelamatan para korban mengungkapkan sejumlah keluarga telah kehilangan segalanya. Mereka membutuhkan bantuan dana untuk memulai kembali kehidupan mereka.  

Para korban pun memerlukan bantuan logistik. "Orang-orang membutuhkan obat-obatan, makanan yang dimasak," kata Dushyant.  

photo
Buku-buku berserakan di sebuah sekolah negeri setelah diserbu oleh massa di New Delhi, India, Rabu (26/2).

"Saya pikir hal utama yang dibutuhkan para korban adalah jaminan bahwa cobaan telah berakhir. Mereka membutuhkan kepercayaan bahwa negara tidak menentang mereka dan pelaku kejahatan dihukum," ujar Dushyant. 

Conress Party, partai oposisi utama India, mengkiritik pemerintah federal karena dianggap tak melakukan apapun untuk merespons kerusuhan di New Delhi. Pemerintah disebut hanya menjadi "penonton bisu."  

Menteri Informasi dan Penyiaran India Prakash Javadekar menuding adanya keterlibatan tokoh-tokoh oposisi di balik kerusuhan yang dipicu CAA. "Investigasi sedang dilakukan," kata dia.  

Sementara itu Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump enggan mengomentari kerusuhan yang terjadi di New Delhi. Trump diketahui sedang berkunjung ke India saat kerusuhan di New Delhi berlangsung.  

Dia pun tak mau mengomentari CAA yang dianggap anti-Muslim. "Saya ingin menyerahkan hal itu pada India dan semoga mereka akan membuat keputusan yang tepat," kata Trump. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement