REPUBLIKA.CO.ID, SYDNEY -- Abla Kadous memulai kehidupan di Mesir sebelum pindah ke Australia dan membantu mendirikan layanan kesejahteraan untuk wanita Muslim pertama di negara itu. Di usianya yang ke-70, dia merenungkan kariernya dan dan mengatakan tidak akan pernah mengecewakan orang.
Di halaman belakang Pusat Kesejahteraan Wanita, sebuah pesta sedang berlangsung. Ragam makanan seperti falafel, pangsit Jepang, samosa, lasagna Mesir, dan makanan penutup lainnya diletakkan di dua meja berbeda. Sekitar 50 wanita dan anak-anak menikmati pesta itu.
Asosiasi Kesejahteraan Perempuan Muslim (IWWA) ini merupakan organisasi nirlaba di Lakemba, salah satu daerah di Sydney yang dipenuhi restoran Bangladesh dan Timur Tengah. Sekitar setengah dari penduduknya diidentifikasi sebagai Muslim.
Berada di pucuk pimpinan adalah Abla Kadous yang kini berusia 70 tahun. "Jika ada yang datang dengan masalah, saya tidak pernah membiarkan siapa pun pergi. Pertama-tama, saya akan duduk bersama mereka, membahasnya dengan mereka, dan saya melihat dari daerah mana," kata Abla dikutip di SBS News, Kamis (20/2).
Ia menyebut jika masalahnya kecil, bukan pelecehan fisik, masalah perihal membesarkan anak-anak, atau hanya sedikit perselisihan dengan suami, maka wanita tersebut akan mendapat bantuan dari IWWA. Namun, jika dirasa masalah yang ada lebih besar, Abla akan merujuk ke layanan atau lembaga yang lebih mumpini.
IWWA didirikan pada 2000. Lembaga ini menyediakan program dan layanan untuk sekitar 150 wanita dan 300 anak setiap pekan.
Program-program ini termasuk pengasuhan anak, kamp untuk remaja perempuan dan sekolah-sekolah bahasa Arab, serta layanan kesejahteraan dan rujukan untuk wanita berisiko yang membutuhkan dukungan ekstra. Abla merupakan salah satu dari 50 sukarelawan pusat.
Ia telah menjadi presiden yayasan selama hampir 20 tahun. Dia dan keluarganya bermigrasi dari Mesir ke Australia pada akhir 1960-an ketika dia masih remaja.
Perpindahannya terjadi saat ada kerusuhan politik di negara asalnya, Mesir. Dia mengatakan Sydney mengingatkannya pada Port Fouad, kota Mesir tempat keluarganya dulu tinggal.
"Saya tumbuh dengan banyak negara yang berbeda. Tetangga saya berasal dari Yunani, dari Italia. Kami memiliki orang-orang dari Jerman. Banyak orang dari Mediterania datang dan bekerja di Mesir," ucapnya.
Ia lalu menyebut antar tetangga biasa bertukar resep dan memasak bersama, serta pergi bermain bersama. Abla dan saudara-saudaranya tumbuh bersama dengan anak-anak mereka dan masih berhubungan sampai hari ini. Sangat sedikit dari mereka yang masih berada di Mesir. Ketika Abla dan keluarga memilih untuk pergi, banyak dari mereka yang juga pergi.
Seperti halnya bagi banyak migran Australia, Abla memiliki berbagai pekerjaan ketika dia pertama kali tiba di negara tersebut. Alhasil ia mengikuti pelatihan sebagai akuntan.
Abla kemudian menikah dengan Gamal, seorang apoteker, dan memiliki lima anak. Pasangan itu sekarang memiliki 10 cucu.
Pada 1980-an, saat ia masih bekerja dan membesarkan keluarga mereka, ia juga mulai menjadi relawan dengan sekelompok kecil wanita untuk melindungi mereka yang melarikan diri dari kekerasan dalam rumah tangga. Kelompok ini melihat perlunya layanan formal untuk mereka. Pada 1983, mereka mendirikan layanan kesejahteraan pertama di Australia khusus untuk wanita Muslim.
Saat itu, kata Abla, wanita-wanita yang menjadi korban hanya memiliki sedikit pilihan dalam menemukan layanan utama yang dapat memenuhi kebutuhan mereka. Layanan milik Abla pun muncul dari sekelompok wanita yang menghadiri kajian di Masjid Lakemba.
"Ketika ada masalah, kami akan meminta wanita tersebut menelepon imam pada waktu itu dan mengatakan kepadanya, jika ia memiliki masalah dan tidak tahu harus pergi ke mana," ujarnya.