Ahad 09 Feb 2020 02:17 WIB

Said Aqil Respons Islam Nusantara Dikhawatirkan Jawasentris

Said Aqil Siroj tepis kekhawatiran konsep Islam Nusantara menjadi jawasentris.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Andri Saubani
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siraj.
Foto: Thoudy Badai_Republika
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Said Aqil Siraj.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj mengatakan, hubbul wathon atau cinta Tanah Air yang menjadi bagian dari konsep Islam Nusantara bisa menepis kekhawatiran tentang konsep Islam Nusantara menjadi jawasentris. Ini dijelaskan kiai Said sebagai jawaban pemaparan Guru Besar UI, Prof. Dr Susanto Zuhdi yang mengatakan ada kekhawatiran tentang konsep Islam Nusantara yang digaungkan Nahdlatul Ulama (NU) dapat menjadi dikotomi antara umat Islam di Jawa dan luar Jawa.

"Kalau ada orang luar Jawa yang khawatir kalau Islam Nusantara menjadi jawasentris itu bisa kita tepis dengan hubbul wathon, watoniyah, kaumiyah, nasional. Jadi bukan jawasentris, kita ini hubbul wathon. Jadi yang tadinya hubbul wathon terminologinya itu manifesto budaya kemudian kita kembangkan menjadi manifesto politik. Tidak benar kalau khawatir itu akan menjadi jawasentris. Karena wathoniyah-nya yang kita kedepankan," kata Kiai Said dalam Simposium Nasional Islam Nusantara: Islam Nusantara dan Tantangan Global yang diselenggarakan Fakultas Islam Nusantara, Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia di Gedung PBNU pada Sabtu (8/2).

Namun demikian, Kiai Said sepakat dengan pendapat Prof Susanto bahwa Nahdlatul Ulama (NU) perlu juga memasukan upaya untuk penegakan keadilan dan menjaga kedaulatan bahari dalam konsep Islam Nusantara. "Menarik sekali jadi faktor bahari nanti yang perlu kita masukan dalam konsep Islam Nusantara," kata Kiai Said.

Sebelumnya dalam acara yang sama, Prof Susanto Zuhdi mengatakan ada kekhawatiran konsep Islam Nusantara menjadi jawasentris. Sehingga, dapat mendikotomikan antara umat Islam di pulau Jawa dan luar Jawa.

"Kekhawatiran akan bahwa Islam Nusantara biru masih berspektif Jawa sentris, itu saya duga atau dianggap mengkhawatirkan lalu Islam menjadi dikotomi. Ini yang saya khawatirkan. Sebab ini juga warisan kolonial ketika Jawa dan luar Jawa dipertentangkan. Mudah-mudahan saya keliru, tapi saya melihat ini sebagai sebuah kekhawatiran," kata Susanto.

Susanto melihat pihak-pihak yang kontra dengan konsep Islam Nusantara kebanyakan berasal dari luar Jawa. Di lain sisi, menurutnya, basis kekuatan NU berada di Jawa. Susanto juga mengkhawatirkan bila konsep Islam Nusantara terdapat perspektif yang mendikotomi umat Islam di Jawa dan luar Jawa maka hal tersebut juga akan bertolak belakang dengan tujuan negara.

"Jangan sampai Islam Nusantara masuk hanya perspektif Jawa sentris. Saya baca yang kontra itu dari luar Jawa padahal itu juga nusantara. Kalau begitu ada kekhawatiran kontradiksi dengan Nawacita karena kita ingin membangun negara dari wilayah-wilayah di luar Jawa, jadi seberapa jauh Islam Nusantara menjangkau kekhawatiran akan adanya dikotomi Jawa dan luar Jawa," tuturnya.

Dalam kesempatan itu, Susanto menjelaskan tentang kenusantaraan dalam perspektif sejarah maritim. Ia mengatakan, kata Nusantara sejatinya merupakan perspektif jawasentris.

Ini dapat dipelajari dari sejarah tentang Kertanegara yang mengirim ekspedisi Pamalayu untuk mencegah ancaman dari arah Utara. Selain dari itu juga sejarah tentang sumpah Palapa di mana Gadjah Mada bersumpah untuk menyatukan wilayah-wilayah dalam satu kekuasaan.

Karenanya, menurut Susanto kata Nusantara bukan saja berkuasa di darat namun juga menguasai bahari. Sebab itu pula konsep Islam Nusantara semestinya juga berbicara tentang penegakan keadilan dan kedaulatan maritim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement