REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pusat informasi produk halal, Halal Corner mendukung upaya perbaikan dan percepatan yang dilakukan pemerintah terkait jaminan produk halal. Namun Founder & CEO Halal Corner, Aisha Maharani menekankan ada tugas lain yang tidak kalah pentingnya yang harus dilakukan pemerintah, yakni menjaga stabilitas jalannya sertifikasi halal dari kebingungan pelaku usaha dan konsumen akibat berita yang simpang siur dan regulasi baru ini.
Seiring dengan kewajiban sertifikasi halal, Halal Corner terus berupaya dalam mendukung sertifikasi di Indonesia. "Kami terus memberikan edukasi, informasi dan pendampingan sertifikasi halal bagi masyarakat," kata dia saat berbincang dengan Republika.co.id, Selasa (21/1).
Beredar draft Omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja, yang di dalamnya menghapus sejumlah pasal dalam UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Penghapusan itu tertulis dalam pasal 552 draft Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja. Hal ini lantas menuai beragam respon dari berbagai pihak. Beberapa pihak tidak setuju jika kewajiban sertifikasi halal dihapus.
Aisha mengaku berkomunikasi dengan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) terkait isu sertifikasi halal dalam draft Omnibus Law. Menurutnya, BPJPH menginformasikan tidak wajibnya sertifikasi halal tidak ada dalam pembahasan dalam Omnibus Law. Draf ini pun masih belum mencapai tahap akhir (final) dan masih dalam pembahasan.
"Baiknya media jangan memberitakan yang memang belum fix kebenarannya agar tidak membuat masyarakat linglung. Dalam upaya menjadikan Indonesia sebagai produsen produk halal terbanyak, maka semua bidang dan pihak harus berupaya membuat langkah dan informasi yang positif," kata Aisha.
Berdasarkan penjelasan dari BPJPH, Aisha menuturkan Omnibus Law dalam konteks jaminan produk halal ditekankan pada empat hal. Pertama, penyederhanaan proses sertifikasi halal. Menurut BPJPH, RUU Omnibus Law ini semangatnya pada percepatan waktu proses sertifikasi halal, baik di BPJPH, MUI, maupun Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Sehingga, harus ada kepastian waktu.
Kedua, pembebasan biaya bagi usaha mikro dan kecil (UMK) saat akan mengurus sertifikasi halal. Istilah yang muncul dalam pembahasan adalah di nol-rupiahkan. Di UU JPH sebelumnya menggunakan istilah 'fasilitasi bagi UMK'.
Ketiga, mengoptimalkan peran dan fungsi LPH, auditor halal, dan penyelia halal untuk mendukung pelaksanaan sertifikasi halal. Dalam hal ini, sejumlah persyaratan, prosedur, dan mekanismenya akan disesuaikan.
Keempat, sanksi administratif dan sanksi pidana. Menurut BPJPH, arahnya bagaimana mendorong pelaku usaha untuk melakukan sertifikasi halal. Sehingga, pendekatan yang dikedepankan adalah persuasif dan edukatif. Karena itu, dalam pembahasan menghindari sanksi pidana, dan hanya sanksi administratif.
Di sisi lain, draft Rancangan Undang-undang (RUU) Penciptaan Lapangan Kerja itu dibantah oleh pemerintah. Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Perekonomian mengklarifikasi bahwa draft RUU tersebut dipastikan bukan draft resmi dari pemerintah. Sekretaris Kemenko Bidang Perekonomian Susiwijono menuturkan, draft RUU yang sedang dalam proses finalisasi berjudul Cipta Lapangan Kerja. Sedangkan, draft RUU yang beredar berjudul Penciptaan Lapangan Kerja.