Jumat 24 Jan 2020 12:10 WIB

Apa itu Hijrah?

Fenomena hijrah banyak dimaknai sempit.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Hijrah, ilustrasi
Hijrah, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Fenomena hijrah banyak dimaknai sempit oleh segelintir umat Muslim masa kini. Hijrah sejatinya meliputi aspek yang cukup luas mengenai perubahan diri dan jiwa, dari arah yang kurang baik menjadi lebih baik dengan tujuan hanya kepada Allah SWT.

Secara makna, kata hijrah merupakan lawan kata dari al-washal (sampai/tersambung). Kata hijrah merupakan bahasa Arab yang asal katanya adalah hajarahu-yahjuruhu-hijran-hijranan. Bentuk isim atau kata benda dari kata ini adalah al-hijrah.

Baca Juga

Dalam buku Hijrah dalam Pandangan Alquran karya Ahzami Saimun Jazuli disebutkan, makna hijrah secara syar’i ialah memiliki ragam aspek yang cukup luas jika ditinjau dari berbagai definisi. Para ulama umumnya memiliki pendapat yang berbeda mengenai makna hijrah ini.

Pendapat pertama, hijrah diartikan sebagai perpindahan dari negeri kaum kafir atau kondisi peperangan (daarul kufri wal-harbi) ke negeri Muslim (daarul Islam). Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Arabi, Ibnu Hajar al-Aswalani, dan Ibnu Taimiyah.

Adapun yang dimaksud dengan negeri kaum kafir menurut mereka adalah negeri yang dikuasi atau pemerintahannya dijalankan oleh orang-orang kafir dan hukum yang dilaksanakan oleh mereka. Adapun Ibnu Taimiyah berpendapat, sebuah negeri yang dikategorikan sebagai daarul kufri, daarul iman, atau daarul fasik, bukan karena hakikat yang ada pada negeri itu, melainkan karena sifat dari para penduduknya.

Ulama-ulama dari kelompok ini berpendapat, hijrah disyaratkan bagi orang yang mampu. Karena bagi mereka yang tidak mampu berhijrah terlepas dari kewajiban hukum berhijrah.

Hal ini sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Alquran Surah An-Nisaa penggalan ayat 98 yang artinya: “Kecuali mereka yang tertindas bagi laki-laki atau wanita ataupun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk berhijrah),”.

Adapun pendapat kedua, hijrah berdasakan makna syar’i ialah perpindahan dari negeri orang zalim (daarul zulmi) ke negeri orang-orang adil (daarul adli) dengan maksud untuk menyelamatkan agama. Daarul adli dapat diartikan suatu negeri yang dipimpin oleh orang kafir akan tetapi ia memberi toleransi yang tinggi.

Kelompok ini menekankan bahwa hijrah dan tuntutannya ditujukan bagi mereka yang betul-betul berada di bawah tekanan sistem non-Islam. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah ketika memerintahkan kaum Muslimin untuk berhijrah ke Habasyah dengan pertimbangan bahwa di sana ada seorang raja yang tidak pernah menzalimi seorang pun.

Pendapat ketiga, Ibnu Arabi menyetujui pendapat pertama sebagaimana yang disebutkan di atas. Akan tetapi beliau lebih condong kepada makna yang lebih luas mengenai hijrah yang terdiri dari berbagai aspek.

Pertama, meninggalkan negeri yang diperangi menuju negeri Islam. Kedua, meninggalkan negeri yang dihuni oleh para ahli bid’ah. Ketiga, meninggalkan negeri yang dipenuhi oleh hal-hal yang haram sementara mencari suatu yang halal merupakan kewajiban setiap Muslim.

Keempat, melarikan diri demi keselamatan jiwa. Kelima, khawatir terkena penyakit di negeri yang sedang terkena wabah, maka ia pergi meninggalkan negeri itu menuju negeri yang sehat tanpa wabah. Dan keenam, melarikan diri demi keselamatan harta.

Namun demikian, hijrah juga kerap diartikan sebagai perjalanan manusia di muka bumi untuk mencari pelajaran, hikmah, dan nasihat. Pendapat keempat mengenai hijrah, datang dari kalangan orang-orang sufi.

Di mana mereka kerap pergi untuk mendekatkan diri dengan kebiasaan-kebiasaan baik, berbeda pendapat untuk menganalisis suatu permasalahan, meninggalkan dosa dan kesalahan, dan meninggalkan hal-hal yang menjauhkan diri dari kebenaran.

Hijrah tidak mengharuskan perpindahan secara fisik dari suatu tempat ke tempat lain. Hijrah terkadang dilakukan dengan mengasingkan diri dari hiruk-pikuk kehidupan masyarakat umum. Para sufi melakukannya dengan tidak bergaul dengan para pelaku maksiat dan kemungkaran, menjauhi orang-orang yang berakhlak buruk, dan meninggalkan para pembuat onar dan permusuhan.

Para sufi pun kerap menerapkan hijrah dengan meninggalkan akhlak yang buruk, atau meninggalkan segala sesuatu yang dapat menjerumuskan manusia dari kehinaan, dan meninggalkan pembicaraa yang menjurus pada kemewahan-kemewahan duniawi. Makni]a ini dimasukkan sebagai arti dari hijrah secara syar’i, akan tetapi spesifikasi hal ini ditempatkan oleh para sufi sebagai satu tingkatan di antara tingkatan-tingkatan menuju sufi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement