Kamis 23 Jan 2020 06:39 WIB

Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu

Wudhu menjadi batal karena hilang akal atau kesadaran.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Ani Nursalikah
Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu. Warga mengambil air wudhu untuk melakukan shalat Maghrib di Mushala Halte Transjakarta Karet, Jalan Sudirman, Jakarta.
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Hal-Hal yang Membatalkan Wudhu. Warga mengambil air wudhu untuk melakukan shalat Maghrib di Mushala Halte Transjakarta Karet, Jalan Sudirman, Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Muhammad Bagir dalam bukunya berjudul Fiqih Praktis I menjelaskan hal-hal yang membatalkan wudhu. Di antaranya, keluarnya sesuatu dari 'kedua pintu pelepasan' (saluran buang air kecil atau besar), baik berupa zat seperti kencing, tinja, darah, dan sebagainya, maupun yang berupa angin (kentut).

Wudhu menjadi batal karena hilang akal atau kesadaran, karena pingsan dan gila, atau karena obat bius dan mabuk minuman keras. Selanjutnya, tidur dapat membuat wudhu batal, kecuali tidur dalam posisi duduk yang mantap sehingga tidak mungkin keluar angin.

Baca Juga

Menyentuh kemaluan, bagian depan atau belakang dengan telapak tangan bagian dalam secara langsung dan tanpa penghalang dapat membatalkan wudhu. Akan tetapi, jika menyentuh dengan punggung telapak tangan, tanpa maksud menimbulkan rangsangan, maka itu tidak membatalkan wudhu.

Kemudian, wudhu batal karena bersentuhnya secara langsung dan tanpa penghalang dari kulit pria dewasa dan kulit wanita dewasa apabila disertai dengan rangsangan syahwat atau memang dimaksudkan untuk menimbulkan rangsangan. Terkait ini, para ulama mazhab Syafi'i berpendapat persentuhan kulit antara laki-laki dewasa dan perempuan dewasa (termasuk istri) membatalkan wudhu walaupun tanpa dibarengi dengan rangsangan syahwat. Akan tetapi, hal ini dikecualikan untuk persentuhan antara pria dan wanita yang mahram yang menurut mereka tidak membatalkan wudhu.

Sementara itu, sebagian ulama mazhab Syafi'i menganggap persentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan bukan mahram membatalkan wudhu si penyentuh, tetapi tidak membatalkan yang tersentuh. Namun, Abu Hanifah memiliki pendapat berbeda. Ia memahami kata persentuhan sebagai kiasan untuk hubungan seksual (senggama). Karenanya, persentuhan biasa antara kulit laki-laki dan perempuan (misalnya ketika berdesak-desakan) tidak membatalkan wudhu.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement