Senin 20 Jan 2020 19:01 WIB

Pesan Pendiri Pesantren Lirboyo: Santri Harus Bisa Jadi Paku

Pendiri Pesantren Lirboyo, Mbah Manab, meminta santri bermanfaat untuk umat.

Rep: Muhyiddin/ Red: Nashih Nashrullah
Pendiri Pesantren Lirboyo, Mbah Manab, meminta santri bermanfaat untuk umat. Sejumlah santri mengaji kitab kuning (kitab klasik berbahasa arab gundul) di pinggir jalan kompleks pondok pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur.
Foto: Antara/Prasetia Fauzani
Pendiri Pesantren Lirboyo, Mbah Manab, meminta santri bermanfaat untuk umat. Sejumlah santri mengaji kitab kuning (kitab klasik berbahasa arab gundul) di pinggir jalan kompleks pondok pesantren Lirboyo, Kota Kediri, Jawa Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – KH Abdul Karim atau yang dikenal sebagai Mbah Manab merupakan Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur yang dikenal sederhana dan bersahaja. Tokoh kiai Nahdlatl Ulama NU ini juga dikenal sebagai ulama yang gemar melakukan riyadlah, yaitu mengolah jiwa atau tirakat.

Mbah Manab adalah sosok yang sangat qanaah dan sangat perhatian kepada santri-santrinya. Beliau mengaji sejak subuh hingga tengah malam. Di malam hari bahkan beliau kerap tidak tidur untuk beribadah kepada Allah SWT.

Baca Juga

Salah satu pesan terkenal Mbah Manab kepada para santrinya adalah "santri harus bisa menjadi paku". Artinya, ketika sudah pulang ke rumahnya, para santri diharapkan bisa menyatukan masyarakat yang beragam.

Pesan Mbah Manab ini memiliki filosofis yang sangat dalam. Seperti bangunan rumah, paku memiliki fungsi sangat luar biasa. Baik paku yang berukuran besar maupun yang berukuran kecil selalu menyatukan berbagai hal, sehingga sebuah rumah bisa berdiri dengan kokoh.

Dalam sebuah bangunan, paku tidak perlu kelihatan, tetapi selalu ada. Sampai karat pun, paku tetap selalu ada dan selalu menyatukan bangunan yang kokoh tersebut. Begitu juga dengan santri sebagai elemen penting dalam pembangunan masyarakat. Santri selalu dibutuhkan di manapun berada.

Oleh karena itu, santri harus selalu siap dan bertanggung jawab untuk menyatukan masyarakat yang heterogen. Jadi, santri kalau sudah pulang harus benar-benar mengayomi masyarakat, walaupun perannya tidak diakui oleh masyarakat.

KH Abdul Karim lahir di desa Diyangan, Kawedanan, Mertoyudan, Magelang, Jawa Tengah pada 1856 Masehi. Dia merupakan putra ketiga dari empat bersaudara yang lahir dari pasangan Kiai Abdur Rahim dan Nyai Salamah.

Mbah Manab wafat pada pada 1954,  tepatnya pada Senin, 21 Ramadhan 1374 Hijriyah. Mbah Manab dimakamkan di belakang masjid Lirboyo. Sepeninggal Kiai Karim, Ponpes Lirboyo dilanjutkan para menantunya, seperti KH Marzuqi Dahlan, KH Mahrus Ali, dan KH Jauhari.

Sekarang, pesantren yang menapaki usia seabad ini dihuni sekitar 10 ribu santri. Diasuh secara kolektif oleh para cucu Mbah Manab, seperti KH Idris Marzuqi, KH Anwar Manshur, KH Imam Yahya Mahrus, KH Habibullah Zaini, dan lain-lain.

 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement