Senin 30 Dec 2019 04:09 WIB

JIC: 4 Catatan Akhir Tahun Islam Ibu Kota 2019

Dua di antaranya tentang polarisasi umat dan radikalisme.

Gedung Jakarta Islamic Centre (JIC) Jakarta.
Foto: Dok JIC
Gedung Jakarta Islamic Centre (JIC) Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA -- Sebagai pusat pengkajian dan pengembangan Islam di Jakarta, Jakarta Islamic Centre (JIC) memberikan beberapa catatan mengenai beberapa peristiwa yang terjadi yang terkait dengan  persoalan umat Islam di Jakarta, Ibu Kota Indonesia, sepanjang tahun 2019 ini. 

“Menurut kami, ada empat catatan akhir tahun Islam ibu kota tahun 2019,” kata Kepala Divisi Pengkajian dan Pendidikan Jakarta Islamic Centre (JIC), H. Rakhmad Zailani Kiki, dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Ahad (29/12).

Pertama, di awal tahun 2019 sampai pasca pemilihan presiden dan wakil presiden, umat Islam, khsususnya di ibu kota, mengalami polarisasi dalam dua kubu kepentingan politik. “Di negara yang menganut sistem demokrasi, polarisasi seperti ini adalah sebuah konsekuensi yang wajar dalam sebuah kompetisi politik yang seharusnya berlangsung dalam kegembiraan dan semangat persaudaraan,” ujarnya. 

Setelah kompetisinya berakhir, ia melanjutkan, harusnya semua kembali menyatu. Namun yang terjadi adalah kompetisi penuh kemarahan dan kebencian dengan polarisasi yang merusak ukhuwah Islamiyah dan kerusakannya terus terjadi pasca pilpres bahkan sampai saat ini. 

Jika ini dibiarkan, tentu sangat merugikan umat Islam itu sendiri. “Karenanya, ini harus segera diakhiri oleh para pemimpin Islam dengan segera melakukan pertemuan-pertemuan bersama secara intensif yang efeknya sampai ke akar rumput dalam semangat  untuk merajut kembali ukhuwah Islamiyah dan memperkuatnya,” tuturnya. 

Kedua, terminologi radikalisme yang digunakan oleh  Pemerintah Pusat untuk melakukan penanggulangan yang serius terhadap paham dan gerakan kelompok Islam tertentu yang dianggap merongrong keutuhan NKRI  justru memperparah ukhuwah Islamiyah yang sudah terkoyak, rusak, yang merupakan ekses dari Pilpres tahun 2019. 

Mernurutnya, banyak pihak yang sudah mengusulkan agar istilah radikalisme ini diganti dengan istilah lainnya, dicarikan istilah yang tidak mengundang polemik, seperti eskstremisme.  “Selain itu, dalam upaya penanggulangannya, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan aparat yang berwenang perlu melibatkan ormas-ormas Islam dan  juga mengedepankan dialog serta pendekatan-pendekatan persuasif lainnya,” paparnya.

Ketiga, ghirah umat Islam dalam mengamalkan ajaran-ajaran Islam begitu tinggi dan menyentuh hampir di seluruh aspek kehidupan, terutama aspek ekonomi. Gerakan hijrah dari praktik ekonomi ribawi menjadi tren  umat Islam di Jakarta di tahun 2019 ini. Sebagian mereka yang tergabung dalam gerakan hijrah ini dan terhimpun di berbagai wadah  adalah para pengusaha yang terlilit persoalan kredit macet di perbankan konvensional dan  para pelaku usaha atau konsumen yang terjerat pinjaman online.  

“Sebaiknya  para pihak terkait, baik pemerintah maupun ormas serta lembaga keuangan Islam, dapat cepat merespons gerakan hijrah ini sebagai bagian dari upaya memperkuat ekonomi umat Islam, khususnya di Jakarta,” ujarnya. 

Keempat, terkait pembatalan pemberian penghargaan Adi Karya Wisata 2019  kepada  diskotek Colosseum Club 1001 Jakarta oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta karena merujuk rekomendasi dari Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) DKI Jakarta kepada Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) 10 Oktober 2019. “Langkah Pemprov DKI ini  patut diapresiasi dan menjadi momentum bagi pihak-pihak terkait untuk lebih menggalakan kembali upaya pencegahan dan penanggulangan narkoba di ibu kota,” ujarnya. 

Terlebih di tahun 2019 ini, DKI masih menjadi provinsi dengan tingkat penyalahgunaan narkoba tertnggi di Indonesia. “Untuk upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba, sekiranya BNNP Provinsi DKI Jakarta dapat lebih erat melibatkan alim ulama yang tergabung dalam Gerakan Nasional Anti Narkoba (Ganas Annar) MUI Provinsi DKI Jakarta yang pada tahun 2019 ini telah memiliki pengurus cabang di lima wilayah kota dan satu kabupaten,” tuturnya.

Ia beralasan, alim ulama adalah pemimpin non formal yang hidup dan beraktivitas di tengah-tengah masyarakat. Ucapan  mereka masih sangat didengar dan dipatuhi umat.

“Mereka dapat memberikan penyuluhan secara efektif kepada masyarakat tentang bahaya narkoba melalui berbagai  ruang, media dan kesempatan yang mereka punya nyaris dua puluh empat jam, seperti khutbah Jumat, tabligh akbar, pengajian, dan-lain,” kata Rachmad Zailani Kiki.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement