Kamis 26 Dec 2019 10:52 WIB
Uighur

Multidimensi Masalah Uighur

Pemerintah Indonesia perlu lebih gesit dalam merespons masalah Uighur.

 Aksi solidaritas untuk muslim Uighur di Hong Kong, Ahad (22/12).
Foto: AP/Lee Jin-man
Aksi solidaritas untuk muslim Uighur di Hong Kong, Ahad (22/12).

Oleh: DR Abdul Mu'ti,  Sekretaris Umum PP Muhammadiyah; Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Desakan agar Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM di Uighur semakin kuat. Gelombang anti-Tiongkok yang diungkapkan dengan berbagai ekspesi terus bergulir seperti bola api. Namun, sikap Pemerintah Indonesia terkesan adem ayem saja. Padahal, masalah Uighur yang pada awalnya merupakan urusan domestik Tiongkok memiliki dimensi yang kompleks. Jika tidak ditanggapi dengan saksama, Uighur bisa berimbas pada stabilitas politik dalam negeri.

Solidaritas Primordial

Masalah Uighur tidak murni berdimensi agama. Para pembela HAM sudah lama berteriak soal pembatasan kebebasan beragama, memelihara identitas, dan menentukan pilihan. Berjuta warga Xinjiang dipaksa hidup dalam barak yang oleh Pemerintah Tiongkok disebut pembinaan vokasi. Dunia tentu tidak percaya. Berbagai foto penyiksaan beredar luas di media massa dan dunia maya.

Nuansa agama-khususnya Islam-begitu kuat karena mayoritas mereka yang menjadi korban pelanggaran HAM adalah Muslim Uighur. Selain persoalan HAM, respons keras umat Islam digerakkan oleh solidaritas primordial keagamaan dan rasial.

Pertama, dari sudut spiritual, solidaritas primordial merupakan ekspresi dan refleksi iman. Islam mengajarkan bahwa Muslim adalah saudara, satu tubuh, dan komunitas. Ikatan iman bersifat universal, melintasi batas-batas negara. Di manapun Muslim berada ikatan itu tidak akan pernah pudar. Sensitivitas primordial Muslim dalam aspek akidah ini sangat kuat dibandingkan negara-negara lainnya. Sebagian malah rela mati demi membela sesama Muslim yang terzalimi. Contoh nyata adalah kasus Afghanistan dan Suriah. Ribuan "mujahidin" yang terprovokasi berangkat dan kini kembali ke tanah air menjadi masalah politik tersendiri.

Kedua, solidaritas primordial terkait dengan persepsi Muslim tentang Tiongkok. Di kalangan Muslim masih terdapat persepsi yang kuat bahwa Tiongkok adalah komunis dan ateis. Persepsi ini terkait dengan G30 SPKI 1965. Peristiwa 54 tahun silam itu masih membekas dan menjadi luka sejarah. Tiongkok dianggap terlibat. Karena itu ketika Indonesia kembali menjalin hubungan diplomatik tidak sedikit yang berkeberatan.

Tiongkok memang banyak berubah terutama dari sisi kebijakan kebijakan dan sistem ekonomi. Secara diplomatik, Tiongkok juga berusaha memperkuat persahabatan antara Muslim Indonesia dengan Tiongkok. Mereka berusaha merubah citra anti-Islam dengan mempromosikan wisata di kawasan mayoritas Muslim. Para tokoh Muslim Indonesia dan Tiongkok saling mengunjungi. Namun, misi diplomasi budaya dan keagamaan tidak cukup berhasil. Kasus Uighur menumbuhkan keyakinan bahwa Tiongkok tidak berubah. Mereka tetaplah kafir-ateis. Inilah yang menjadi alasan mengapa reaksi atas pelanggaran HAM di Tiongkok lebih keras dibandingkan dengan Myanmar, India, Yaman, dan Suriah.

Ketiga, solidaritas primordial terkait masalah rasial di dalam negeri. Walaupun sudah 74 tahun merdeka, masih banyak kalangan yang belum menerima etnis Tionghoa sebagai bagian integral bangsa Indonesia. Selain dominasi ekonomi, stereotipe Tionghoa masih lekat dengan korupsi, narkoba, perjudian, dan prostitusi. Selain itu, masih ada sebagian etnis Tionghoa yang ekslusif dan merasa superior. Masalah Uighur berdampak terhadap berkembangnya sentimen rasial terhadap etnis Tionghoa. Bhinneka Tunggal Ika belum kuat tertanam sebagai pemersatu bangsa.

Sikap Tegas

Solidaritas Primordial dan rasial tersebut berpotensi menjadi masalah politik. Banyak kalangan Muslim yang kecewa dengan sikap Pemerintah Indonesia yang  lambat, lembek, dan mencari-cari berbagai alasan untuk tidak bertindak.

Sebagian pihak menilai Pemerintah Indonesia sudah bergantung pada Tiongkok. Di tengah krisis ekonomi Tiongkok berperan sangat penting, terutama karena posisinya sebagai salah satu raksasa ekonomi dunia. Walapun bukan yang terbesar, investasi niaga Tiongkok di Indonesia kian mekar. Ada kabar Pemerintah Jokowi akan membentangkan karpet merah untuk perusahaan-perusahaan Tiongkok. Rencana inilah yang membuat Amerika Serikat mulai gerah. Sikap keras atas pelanggaran HAM di Xinjiang tidak terlepas dari persaingan pengaruh Amerika Serikat dan Tiongkok di dunia global.

Dugaan itu belum tentu terbukti. Namun, jika ternyata benar, Pemerintah Jokowi sudah melanggar politik luar negeri yang bebas dan aktif. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia harus berdiri tegak di atas konstitusi.

Masalah domestik lain adalah relasi pemerintah dengan umat Islam yang kembali memanas. Suhu politik sempat menurun setelah pemilihan presiden dan pembentukan Kabinet Indonesia Maju di mana Prabowo berada di dalamnya. Namun, sikap keras kelompok anti-Jokowi bangkit kembali. Kesimpulan mereka bahwa Jokowi tidak pro Islam semakin terbukti. Ekstremisme dan aktivisme Islam akan merebak dan tidak terkendali.

Pemerintah Indonesia perlu lebih gesit dalam merespons masalah Uighur. Sangat disayangkan jika kepentingan nasional terabaikan hanya karena kepentingan dagang dengan Tiongkok. Tidak seharusnya hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan negara-negara sahabat seperti Inggris, Australia, Jepang, dan negara-negara Barat gugur karena masalah Uighur.

Sebagai negara mayoritas Muslim yang diterima oleh negara-negara OKI dan anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, Indonesia bisa memimpin pembicaraan multilateral. Indonesia bisa membawa masalah Uighur ke PBB dan bicara lebih keras lewat OKI. Seandainya Indonesia berani mengambil langkah tersebut, umat Islam akan mengacungkan jempol untuk Presiden Jokowi.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement