Jumat 06 Dec 2019 07:06 WIB

Sejumlah Tokoh Minta PMA Majelis Taklim Dicabut

Pemerintah jangan terlalu jauh mengatur, seperti tidak ada kerjaan lain

Sejumlah tokoh minta PMA Majelis Taklim dicabut. Majelis taklim (ilustrasi).
Foto: Dok. DMI/Yadi Jentak
Sejumlah tokoh minta PMA Majelis Taklim dicabut. Majelis taklim (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Penerbitan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 29 Tahun 2019 tentang Majelis Taklim terus mendapat sorotan. Sejumlah tokoh nasional mulai menyerukan pencabutan regulasi yang dinilai bakal membatasi kebebasan masyarakat itu.

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menilai, di balik PMA Majelis Taklim ini pasti ada maksud baik. Kendati demikian, ia mengingatkan, penerbitan dan hal-hal yang diatur melalui regulasi itu harus tertib secara ketatanegaraan.

Baca Juga

"Peraturan menteri beda dengan undang-undang, peraturan menteri sifatnya hanya melaksanakan aturan yang lebih tinggi (yakni) perpres (peraturan presiden), PP (peraturan pemerintah), dan UU," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu kepada Republika, Kamis (5/12).

Ia menekankan, majelis taklim adalah lembaga pendidikan yang sama sekali tidak bersentuhan dengan APBN. Majelis taklim juga tidak ada kaitannya dengan penyelenggaraan tanggung jawab negara di bidang pendidikan dan merupakan kreativitas masyarakat. "Maka, enggak perlu ikut campur menteri mengatur. Kalau mau diatur dengan UU. Itu ciri negara demokrasi," ujar Jimly.

Jika ada aturan yang mengurangi kebebasan rakyat dan menambah beban rakyat, menurut dia, harus ditentukan atas persetujuan rakyat dengan membuat UU melalui wakil-wakil rakyat. "Jadi, enggak bisa oleh peraturan menteri. Lagi pula yang diatur di luar pemerintah, enggak perlu diatur oleh menteri, kejauhan meskipun niatnya baik."

Meski begitu, dia menjelaskan, membuat pedoman yang sifatnya membimbing majelis taklim sedianya masih bisa dilakukan pemerintah. Misalnya, membuat buku pedoman majelis taklim yang dikuatkan dengan surat keputusan Menteri Agama.

Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra juga meminta Menteri Agama Fachrul Razi segera mencabut PMA 29/2019. "Cabut saja itu PMA. Pemerintah jangan terlalu jauh mengatur. Jangan seperti tidak ada kerjaan lain," kata Azyumardi di Universitas Negeri Padang, Kamis (5/12).

Azyumardi tidak sepakat dengan PMA yang mengharuskan majelis taklim mendaftarkan anggota berikut mendata KTP anggota sampai melaporkan sumber sana majelis taklim. Seharusnya, menurut dia, negara cukup mengatur hal-hal yang pokok saja.

Mantan rektor UIN Jakarta itu juga melihat selama ini majelis taklim menjadi forum untuk memperbaiki kehidupan agama, belajar mendalami ilmu agama, mendalami bacaan doa dan bacaan Alquran, dan lain-lain. Kemudian, menurut Azyumardi, majelis taklim juga kerap menjadi forum memajukan ekonomi umat.

Ia juga tak sepakat jika PMA Majelis Taklim diterbitkan dengan dalih menangkal radikalisme. "Ustaz yang radikal memang ada dan itu sangat sedikit jumlahnya. Ya dipanggil saja ustaz yang bersangkutan. Itu aja yang dikejar," ucap Azyumardi.

PMA Majelis Taklim diterbitkan Menteri Agama pada 13 November lalu. Regulasi itu terdiri atas enam bab dengan 22 pasal. Regulasi ini antara lain mengatur tugas dan tujuan mejelis taklim. Regulasi ini juga mengatur masalah pembinaan dan pendanaan.

Melalui regulasi itu, majelis taklim diharuskan mendaftar ke KUA kecamatan dengan syarat menyerahkan fotokopi KTP pengurus, penceramah, dan jamaah. Kemenag juga berencana menerbitkan modul sebagai pegangan materi ajar majelis taklim di Indonesia merujuk beleid itu.

Sejak diterbitkan, regulasi tersebut mendapatkan penolakan dari ormas-ormas Islam di Indonesia. "Undang-undang keormasan sudah mengatur pendirian organisasi, bagi majelis taklim yang hendak mendaftarkan sebagai ormas. Jadi, pemerintah janganlah mempersulit dan merepotkan masyarakat," ujar Sekretaris Jenderal PBNU A Helmy Faishal Zaini.

Sedangkan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nasir menekankan, regulasi itu terlalu jauh jika digunakan menangkal radikalisme. "Nanti kan asumsinya, ‘oh berarti umat Islam itu menjadi sumber dari radikalisme’. Kalau kemudian ini juga diterapkan, nanti ini konteksnya demokrasi, bisa ke mana-mana," kata Haedar di Jakarta, Rabu (4/12) malam.

Seturut dengan pandangan itu, Ketua PP Muhammadiyah Dadang Kahmad menegaskan, jika PMA Majelis Taklim tidak ada manfaatnya sebaiknya tidak usah dilanjutkan. "Menurut saya, dicabut saja (PMA Majelis Taklim) kalau dianggap tidak bermanfaat, tapi kalau dianggap bermanfaat, revisi dengan mengajak ormas-ormas Islam untuk membicarakan perlu atau tidak," kata Dadang kepada Republika, Kamis (5/12).

Ia menjelaskan, sesuatu yang tidak ada manfaatnya meski sudah diputuskan boleh saja dicabut lagi. Apalagi, ada penolakan dari majelis taklim yang merasa gerak langkahnya dihambat. "Majelis taklim ada untuk mendidik masyarakat, menguatkan akidah, membuat rajin ibadah, dan memperbagus akhlak, saya kira semuanya hampir sama majelis taklim itu seperti itu, jangan terlalu khawatir dengan umat Islam, umat Islam orang-orangnya baik," ujarnya.

Seperti Orba

Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sohibul Iman mengatakan, PMA tersebut mengingatkannya dengan masa Orde Baru. "Ada sebuah kebijakan yang terlalu berlebihan. Ini mengingatkan kita pada dulu zaman Orde Baru fenomenanya," ujar Sohibul selepas bertandang ke kantor PP Muhammadiyah di Jakarta, Rabu (4/12) malam.

Ia menuturkan, dalam pertemuan dengan pengurus PP Muhammadiyah, mereka juga berdiskusi terkait PMA tersebut. Menurut dia, aturan yang tertuang pada PMA Majelis Taklim itu terlalu mengintervensi ranah privasi dari masyarakat. Khususnya terkait aktivitas keagamaan warganya. "Kami berharap pemerintah melihat kembali ke masalah ini," ujar Sohibul.

Pada masa Orde Baru, memang pernah dikeluarkan Keputusan Menteri Agama Nomor 44 Tahun 1978 yang mengatur dakwah dan penyiaran kuliah Subuh di radio. Regulasi itu beberapa kali berujung penangkapan ulama dan bentrok antara aparat dengan peserta pengajian.

Sebelumnya, Plt Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Agama (Kemenag) Syafrizal mengatakan, PMA sudah didiskusikan dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Dalam diskusi tersebut, dibahas soal apakah pendaftaran majelis taklim ini bersifat boleh, harus, atau wajib.

"Di bahasa hukum itu, kalau ‘wajib’, implikasinya kalau tak lakukan, dapat sanksi. Kalau disebut ‘boleh’ di situ, enggak ada implikasi apa-apa, terus buat apa diatur-atur ada SKT (surat keterangan terdaftar) segala," kata dia kepada Republika.

Kemudian, lanjut Syafrizal, disepakati bahwa pendaftaran bersifat harus. "Teman-teman di situ, pakar-pakar itu, mencari kata tengah, yaitu ‘harus’, yang ditujukan untuk pemenuhan administrasi," ujarnya. Karena sifatnya harus, Syafrizal mengungkapkan tidak ada sanksi bagi majelis taklim yang tidak mendaftar ke Kemenag.

Syafrizal mengatakan, Kemenag pun tidak mempersoalkan majelis taklim yang memang sejak awal enggan melakukan pendaftaran. "Enggak apa-apa, ya konsekuensinya tentu dia akan kesulitan apabila ngaju-ngajuin kerja sama dengan pemerintah," kata dia. n Fuji E Permana, Febrian Fachrinawir arsyad akbar/umar mukhtar ed: fitriyan zamzami

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement