REPUBLIKA.CO.ID, Di dunia ini tidak ada yang lebih lezat, selain keimanan yang terpatri kokoh di hati. Imam al-Junaid mengungkapkan bagaimana lezatnya iman, "Jika para penguasa tahu kelezatan yang sedang kami reguk, niscaya mereka akan membantai kami dengan pedangnya".
Keirian penguasa atas kelezatan iman yang tidak bisa mereka miliki inilah yang tampaknya ingin diungkap Junaid, karena kelezatan iman tidak bisa dibandingkan dengan kelezatan duniawi apa pun.
Rasulullah SAW tidak mengungkap seperti apa lezatnya iman, namun beliau mengajarkan cara-cara untuk bisa mendapatkannya sebagaimana diungkap dalam hadis berikut:
"Ada tiga hal yang siapa saja di dalamnya tentu akan ia temukan lezatnya iman, yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya lebih dicintainya ketimbang yang lain, mencintai seseorang hanya karena Allah, dan benci untuk kembali kepada kekafiran laksana ia benci jika dicampakkan ke dalam api neraka" (HR Bukhari).
Pertama, cinta kepada Allah dan Rasulullah SAW melebihi cinta kepada yang lainnya. Dua cinta ini adalah satu kesatuan utuh yang tidak bisa dipisahkan. Sebagaimana pengakuan akan keberadaan Allah tidak akan lengkap tanpa pengakuan akan kerasulan Muhammad SAW dalam syahadatain, demikian pula dalam mahabbah (cinta).
Mahabbah kepada Allah tidak akan bermakna tanpa mahabbah kepada Rasulullah. Bahkan ketaatan yang merupakan ekspresi mahabbah kepada Rasulullah adalah pembuktian cinta kepada Allah. Firman-Nya, Katakanlah, jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu (pula) (QS Ali Imran: 31).
Imam Ghazali mengatakan bahwa Allah adalah mustahiq mahabbah (yang paling berhak menerima cinta). Mahabbatullah merupakan penyandaran diri kepada Allah secara total. Bersandar kepada-Nya dan mengutamakan ketaatan kepada-Nya.
Cinta seperti ini merupakan puncak kenikmatan ruhani. Mahabbatullah tidak mungkin diraih kalau seorang Muslim tidak mengetahui dan tidak mengenal Allah. Mahabbah kepada Rasulullah SAW melampaui pengertian biasa.
Mencintai beliau pada hakikatnya mencintai risalah yang dibawanya dan meneladani amal-amal yang dicintainya. Kedua, mencintai seseorang hanya karena Allah. Secara fitrah manusia diberikan insting untuk mencintai dan dicintai.
Islam tidak menghambat insting manusia tersebut. Islam hanya mengaturnya agar membawa maslahat yang banyak. Hal tersebut bisa dicapai bila menjadikan Allah sebagai landasan cinta kepada yang lainnya.
Ketika kita mencintai orang lain maka Allah harus menjadi landasannya. Demikian pula dalam ukhuwah (persaudaraan), Allahlah yang menjadi landasannya. Dalam Islam ukhuwah tidak sebatas ikatan darah, namun lebih luas dari itu.
Semua Muslim adalah bersaudara (QS al-Hujuraat: 10). Ukhuwah Islamiyah tidak menjadikan nasab sebagai landasan. Sehingga siapa pun dia, senasab atau tidak, selama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia adalah bersaudara.
Ketiga, benci untuk kembali pada kekafiran laksana ia benci jika dicampakkan ke dalam api neraka. Dalam konteks sekarang untuk bisa merasakan kelezatan iman, seseorang Muslim harus membenci kekafiran.
Kekafiran, di sini maksudnya adalah menolak keberadaan Allah dan menolak melaksanakan perintah-Nya. Wujud kekafiran berbentuk pemahaman-pemahaman yang bertentangan dengan Islam, seperti Marxisme, liberalisme dan kapitalisme. Kekafiran bisa juga berbentuk pemahaman mistis yang mengakui tuhan itu bukan hanya Allah melainkan banyak juga yang lainnya.
Membenci kekafiran tidak berarti buta terhadap kebaikan yang ada dalam pemahaman yang lain. Kalau memang ada kebaikan di dalamnya maka tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk tidak menerimanya.
Dr Yusuf Qardhawi mengatakan dalam bukunya Tsaqafatuna baina al-Infitah wa al-Inghilaq, "Seorang Muslim yang benar dapat memetik sesuatu yang dilihatnya benar dalam teori skeptisme Rene Descrates, idealisme Hegel, materialisme Marx, evolusi Darwin, psikoanalisis Freud, sosialisme Durkheim, pragmatisme Jims, rasionalisme Russel, negativisme Spengler, positivisme Toynbee, eksistensi Carter dan lainnya. Ia mengambil dari mereka hal-hal yang sesuai dengan dirinya dan meninggalkan hal-hal yang tidak sesuai".